enin, 2008 Januari 28
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN YANG DAPAT MEMICU KRISIS
ROMA 8:28-29
1 KOR 10:13
oleh Dra.Iis Achsa,S.Th,M.K
Setiap tahap perkembangan individu dapat menjadi sumber krisis kehidupan. Samuel L. Dixon yang dikutip oleh Subagyo1, mendefinisikan krisis adalah suatu keadaan mental yang melemahkan secara fungsional sebagai dampak dari respon seseorang terhadap satu peristiwa (pemicu) yang dianggap sangat berbahaya sehingga menyebabkan ia merasa tak berdaya dan tak dapat menanggulanginya secara efektif dengan cara yang biasa dipakai. Kondisi ini perlu diantisipasi dan dipulihkan dengan segera. Bila tidak, biasanya akan dapat menimbulkan kesulitan yang berkepanjangan dan berdampak buruk bagi perkembangan individu.
Banyak teori mengenai perkembangan manusia, salah satu teori yang terkenal adalah Teori Perkembangan Psikososial dari Erickson. Seperti semua teori yang lain, maka teori ini tidak dapat diterapkan secara kaku dengan anggapan bahwa setiap orang akan mengalaminya secara tepat pada periode yang sama. Teori ini perlu dipahami dengan memakai perspektif perkembangan sepanjang kehidupan, yaitu memandang bahwa perkembangan itu terjadi sepanjang hidup, banyak arah (tidak harus mengikuti satu jalan tertentu), banyak hal (muncul dengan gejala yang berbeda-beda), dan memerlukan analisis lingkungan (interaksi antara pembawaan dan lingkungan budaya, - sosial-politik, juga faktor ekologi dan biologi). Namun demikian, mempelajari teori perkembangan dapat menolong kita lebih jeli melihat kemungkinan adanya krisis dan dapat memahami krisis yang terjadi.
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DARI ERICKSON
1. Pada masa bayi (kira-kira umur 0-1 tahun) anak dapat mengalami pergumulan untuk bersikap percaya atau tidak percaya. Bila anak berhasil mengembangkan sikap percaya, maka ia akan menjadi orang yang memiliki semangat juang untuk mencapai sesuatu (cita-cita, misalkan).
2. Pada masa kanak-kanak dini (kira-kira umur 1-6 tahun) anak dapat mengalami pergumulan untuk bersifat mandiri atau bersifat pemalu dan ragu-ragu. Bila anak berhasil mengembangkan sifat mandiri, maka ia akan menjadi orang yang memiliki kemauan yang kuat.
3. Pada usia bermain. (kira-kira umur 6-10 tahun) anak dapat mengalami pergumulan antara berinisiatif atau merasa salah. Bila anak berhasil mengembangkan sifat berinisiatif, maka ia akan menjadi orang yang memiliki tujuan tertentu.
4. Pada-usia sekolah (kira-kira umur 10-14 tahun) anak dapat mengalami pergumulan antara merasa mampu dan menjadi rendah diri. Bila anak berhasil mengembangkan rasa mampu, maka ia akan menjadi orang yang merasa berkompeten.
5. Pada masa remaja (kira-kira umur 14-20 tahun) anak dapat mengalami pergumulan antara memiliki identitas dan bingung mengenai perannya. Bila ia memiliki kepastian tentang peran dan identitasnya, maka ia akan menjadi orang yang setia dan tekun.
6. Pada, usia dewasa muda (kira-kira umur 20-35) orang dapat mengalami pergumulan antara menjadi akrab dan memisahkan diri. Bila berhasil mengembangkan sikap akrab, ia akan menjadi orang yang memiliki kasih (mampu mengasihi dan tidak egois).
7. Pada masa dewasa/matang (kira-kira umur 35-65) orang bisa mengalami pergumulan untuk berproduksi atau mandeg. Bila berhasil mengembangkan sikap untuk terus berproduksi, ia akan menjadi orang yang memiliki kepedulian.
8. Pada usia lanjut (di atas 65 tahun) orang dapat mengalami pergumulan untuk memiliki integritas atau menyesali diri. Bila ia berhasil memiliki integritas, maka ia akan menjadi orang arif.
Pergumulan di tiap tahap usia sangat dipengaruhi berbagai faktor. Dua unsur penentunya adalah dukungan dari lingkungan, terutama dari significant others, orang –orang yang penting yang berada di sekitar hidup individu tersebut. Kedua, dari berbagai peristiwa yang menginterupsi perencanaan kehidupan, misalkan, kecelakaan, menderita sakit berkepanjangan.
Dilanjutkan di edisi berikutnya.
(Endnotes)
1 Subagyo, Andreas, Tampil Laksana Kencana, Bandung: Kalam Hidup, 2003, 14.
Tak seorang pun dapat membuat anda merasa rendah diri tanpa persetujuan anda
Aku bersyukur padaMu karena kejadianku
dasyat dan ajaib.
Mazmur139:
Diposkan oleh Disciples Perkantas Jawa Timut di 10:42
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
http://disciples-juli-agus-2007.blogspot.com/2008/01/tahap-tahap-perkembangan-yang-dapat.html
Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpress/KPP/PNBA/Buku%20III/&view=I.%20Buku%20III%20Kesehatan%20-%20Final.doc.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.
http://209.85.175.104/search?q=cache:9285mZkuP8UJ:www.bappenas.go.id/index.php%3Fmodule%3DFilemanager%26func%3Ddownload%26pathext%3DContentExpress/KPP/PNBA/Buku%2520III/%26view%3DI.%2520Buku%2520III%2520Kesehatan%2520-%2520Final.doc+tingkat+perkembangan+anak+umur+10-14+tahun&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
PROGRAM NASIONAL BAGI ANAK INDONESIA
KELOMPOK KESEHATAN
BAB 1. PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Pada United Nation General Assembly Special Session on Children yang diselenggarakan pada bulan Mei 2002 di New York, negara-negara peserta menegaskan kembali dan mendeklarasikan komitmen terhadap kesejahteraan anak. Komitmen tersebut dikenal sebagai “A World Fit for Children” (WFC). Selain berisi pernyataan tentang tekad berbagai negara untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak, dokumen tersebut juga berisi hasil telaah terhadap kemajuan yang telah dicapai dan rencana aksi untuk mencapai target yang telah ditetapkan dan disepakati oleh negara-negara peserta.
Sebagai pengejawantahan komitmen terhadap deklarasi WFC tahun 2002, setiap negara yang terlibat dan meratifikasinya perlu mengembangkan suatu program nasional bagi anak. Dokumen tentang program nasional tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya mencapai target WFC. Ada 4 area pokok yang mendapat perhatian khusus dalam deklarasi WFC tahun 2002, yaitu peningkatan hidup sehat (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap abuse, eksploitasi, dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS).
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Indonesia menyusun Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang mencakup keempat komponen tersebut. Dokumen ini khusus berisi tentang PNBAI Bidang Kesehatan.
1.LANDASAN
1.2.1. Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child).
Konvensi Hak-hak Anak menekankan beberapa prinsip dasar dalam pemenuhan hak-hak anak, yaitu:
non-diskriminasi;
kepentingan yang terbaik bagi anak;
hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
penghargaan terhadap pendapat anak.
1.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UUPA).
Pasal-pasal yang berhubungan dengan kesehatan dalam UUPA adalah:
Pasal 4 tentang hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta mendapat perlindungan.
Pasal 8 tentang hak anak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
Pasal 44 tentang kewajiban pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak.
Pasal 45 tentang tanggung jawab orang tua dalam menjaga kesehatan dan merawat anak.
Pasal 46 tentang kewajiban negara, pemerintah, keluarga dan orang tua dalam mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.
Pasal 47 tentang kewajiban negara, pemerintah, keluarga dan orang tua untuk melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
1.Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
1.2.4. Millenium Development Goals (MDG)
Pada tahun 2000 telah diformulasikan MDG yang mencakup 8 tujuan utama. Lima dari 8 tujuan utama tersebut terkait dengan bidang kesehatan, yaitu:
eradikasi kemiskinan yang ekstrim dan kelaparan;
penurunan kematian anak;
peningkatan kesehatan ibu;
pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lain;
pengembangan kemitraan global untuk pembangunan.
1.2.5. Deklarasi “A World Fit for Children” (WFC)
Dalam Deklarasi WFC ditekankan 8 prinsip yang mendasari gerakan global untuk menciptakan dunia yang cocok bagi anak. Prinsip yang terkait dengan kesehatan adalah care for every child yang menyebutkan bahwa setiap anak harus memulai kehidupan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Kelangsungan hidup, perlindungan, pertumbuhan dan perkembangan anak dalam keadaan sehat dan gizi yang memadai, merupakan hal yang paling mendasar dari pembangunan manusia. Untuk itu perlu diselenggarakan berbagai upaya untuk menanggulangi penyakit menular, mengatasi penyebab utama gizi kurang, dan membesarkan anak dalam lingkungan yang sehat dan aman yang memungkinkan anak menjadi sehat fisik, mental dan emosional serta memiliki kemampuan sosial dan mampu belajar.
1.. PRINSIP-PRINSIP DASAR
1.Pendekatan siklus hidup.
Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan proses panjang yang berkesinambungan. Derajat kesehatan anak pada masa balita sangat berkaitan erat dengan tingkat kesehatannya pada masa bayi baru lahir. Bayi lahir sehat terkait erat dengan tingkat kesehatan maternal. Derajat kesehatan maternal terkait erat dengan tingkat kesehatan pada masa remaja. Derajat kesehatan pada periode remaja sangat terkait dengan kondisi kesehatan anak semasa balita.
Dengan demikian, derajat kesehatan anak tidak dapat dicapai dengan upaya yang dilakukan sesaat, melainkan merupakan hasil dari upaya yang berkesinambungan selama kehidupan anak. Dengan demikian upaya pembangunan kesehatan anak tidak dapat dipenggal-penggal untuk kurun umur tertentu, meskipun masing-masing kurun umur memiliki karakteristik masalah kesehatan yang berbeda.
Pendekatan siklus hidup memberikan penekanan bahwa upaya pembangunan kesehatan yang dilakukan oleh satu generasi akan dinikmati hasilnya oleh generasi berikutnya. Upaya kesehatan tidak hanya memberikan manfaat pada generasi yang melaksanakannya. Lebih dari itu, manfaat terbesar justru akan dinikmati oleh generasi berikutnya.
1.Pendekatan kesehatan masyarakat.
Pendekatan kesehatan masyarakat adalah suatu pendekatan yang mengupayakan pencapaian tingkat kesehatan dan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi seluruh masyarakat. Upaya-upaya yang diselenggarakan difokuskan dan diprioritaskan pada masalah-masalah kesehatan masyarakat utama yang mengancam dan/atau menimpa keseluruhan masyarakat disertai aplikasi model pengembangan program yang sistematik untuk memastikan bahwa program-program yang dikembangkan relevan dan efektif dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat utama.
1.ARAHAN UNTUK MASA MENDATANG
World Health Organization memberikan arahan bagi pengembangan upaya kesehatan anak dan remaja pada masa depan, yaitu:
1.Peningkatan kesehatan ibu dan neonatal
2.Peningkatan status gizi
3.Pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit menular
4.Pencegahan dan penanggulangan kecelakaan dan kekerasan
5.Penurunan ancaman lingkungan (fisik)
6.Peningkatan kesehatan remaja
7.Promosi perkembangan psikososial dan kesehatan jiwa anak
BAB 2. ANALISIS SITUASI KESEHATAN ANAK INDONESIA
1.POPULASI ANAK INDONESIA
Menurut SUSENAS 2001 jumlah penduduk Indonesia 202.707.418 jiwa dengan rasio laki-laki/perempuan hampir seimbang (1,003). Anak umur 0-4 tahun mencapai 5,8persen dari total penduduk Indonesia, sedangkan anak umur sekolah 5-14 tahun mencapai 20,76persen. Meskipun proporsi anak umur 0-19 tahun dari seluruh penduduk Indonesia sejak tahun 1996 telah menurun dari 42.9persen menjadi 41.1persen. Namun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk maka jumlah anak umur 0-19 tahun juga terus meningkat. Hal ini berarti bahwa populasi anak Indonesia yang harus diperhatikan dan diperjuangkan kesejahteraannya terus meningkat. Beban untuk menanggulangi masalah kesehatan anak juga terus meningkat.
1.STATUS KESEHATAN ANAK
Data SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa tingkat kematian bayi dan balita yang telah sempat menurun ternyata cenderung meningkat kembali. Tabel 2.2.1 berikut ini menyajikan AKB, angka kematian anak (AKA) dan AKBA menurut hasil SUSENAS 1995, 1998 dan 2001. Disamping kemajuan yang cukup bermakna tersebut, tingkat kematian bayi dan balita di Indonesia masih yang tertinggi di antara negara-negara anggota Association of South-East Asian Nations (ASEAN). Masalah lain timbul dari besarnya variasi antar propinsi, maupun relatif besarnya perbedaan antara tingkat kematian di daerah rural dan urban.
Tabel 2.2.1
AKB, AKA, dan AKBA di Indonesia Menurut Tempat Tinggal
Hasil SUSENAS 1995, 1998 dan 2001
Tempat tinggal
SUSENAS 1995
SUSENAS 1998
SUSENAS 2001
Angka Kematian Bayi
Perkotaan
Pedesaan
Kota + Desa
45
66
60
35
54
49
39
59
51
Angka Kematian Anak
Perkotaan
Pedesaan
Kota + Desa
13
26
22
8
19
15
10
21
17
Angka Kematian Balita
Perkotaan
Pedesaan
Kota + Desa
58
90
81
42
74
65
49
78
68
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesi (2002). Laporan Data SUSENAS 2001.
Menurut SUSENAS 2001 penyebab utama kematian bayi umur <1 tahun adalah kematian perinatal (36 persen), diikuti oleh pnemonia (28 persen), diare (9 persen), penyakit saluran cerna (4 persen), tetanus (3 persen) dan penyakit syaraf (3 persen). Penyebab kematian utama pada periode neonatal (bayi umur <28 hari) adalah prematuritas disertai berat lahir rendah (29,2 persen), asfiksia lahir (27 persen), tetanus neonatorum (9,5 persen), masalah pemberian makan (9,5 persen), kelainan kongenital (7,3 persen), gangguan hematologi/ikterus (5,6 persen), pnemonia (2,8 persen), dan sepsis (2,2 persen). Penyebab utama kematian balita umur 1-4 tahun adalah pneumonia (23 persen), diare (13 persen), penyakit syaraf (12 persen), tifus (11 persen) dan penyakit saluran cerna (6 persen). Keberhasilan program imunisasi telah menurunkan mortalitas akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (difteri, pertusis, campak) dengan cukup tajam dari 52,6 (SKRT 1996) menjadi 1,4 per 100.000 penduduk (SKRT 2001). Penyebab kematian utama anak umur 5-14 tahun adalah tifus, diare dan pnemonia, dan untuk anak umur >15 tahun (remaja) adalah kecelakaan, tuberkulosis, dan komplikasi maternal.
Menurut SDKI 1997 prevalensi diare pada balita masih sekitar 10 persen dan pertusis sekitar 9 persen. Hasil Survai Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1999 menunjukkan bahwa lebih dari 1 persen bayi dan balita menderita campak dalam periode sebulan sebelum saat pengumpulan data dilakukan. Hasil menggembirakan dicapai dalam upaya eradikasi polio, dimana sejak 1996 tidak lagi ditemukan kasus baru.
Insidens campak pada anak umur <1 tahun, 1-4 tahun dan 5-14 tahun mengalami penurunan yang bermakna yaitu berturut-turut dari 20,5 menjadi 9 per 10.000 penduduk, dari 18,4 menjadi 7,4 dan dari 8,4 menjadi 3,4. Demikian pula terjadi penurunan yang bermakna pada insidens difteri dan pertusis.
Menurut SUSENAS 2001, sebanyak 49,1 persen bayi umur <1 dan 54,8 persen anak balita umur 1-4 tahun mengeluh sakit dalam sebulan terakhir. Di antara anak umur 0-4 tahun tersebut ditemukan prevalens panas sebesar 33,4 persen, batuk 28,7 persen, batuk dan nafas cepat 17,0 persen dan diare 11,4 persen. Prevalensi gejala-gejala penyakit tersebut di perkotaan dan pedesaan tidak terlalu berbeda.
Data morbitas pada anak umur 5-14 tahun relatif jarang. Menurut SKRT 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun relatif sama. Penyakit yang paling sering terjadi adalah anemia (52,8 persen pada laki-laki, 49,2 persen pada perempuan), diikuti dengan penyakit periodontal (30,2 persen pada laki-laki, 33,6 persen pada perempuan), infeksi akut saluran nafas atas (29,2 persen pada laki-laki, 29,6 persen pada perempuan), gangguan telinga luar (23,3 persen pada laki-laki, 22,7 persen pada perempuan), dan tonsilitis kronik (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan).
Menurut SUSENAS 2001 prevalensi disabilitas fungsi tubuh pada bayi umur <1 tahun, 1-4 tahun, 5-14 tahun berturut-turut 29,9 persen, 31,6 persen dan 24,2 persen. Prevalens kelainan struktur organ pada bayi <1 tahun, 1-4 tahun, 5-14 tahun berturut-turut 2,5 persen, 3,3 persen dan 3,6 persen. Pada anak umur 5-14 tahun ditemukan pula sebanyak partisipasi dan aktivitas 9,6 persen.
Secara keseluruhan 29,9 persen bayi umur <1 tahun, 32,8 persen anak umur 1-4 tahun dan 30,1 persen anak umur 5-14 tahun menderita satu jenis disabilitas atau lebih.
Jenis disabilitas fungsi tubuh yang paling banyak diderita anak-anak adalah disabilitas fungsi pencernaan, metabolisme dan endokrin dan disabilitas fungsi kardiovaskuler, hematologi, imunologi dan pernafasan.
Tabel 2.2.2 Prevalensi Disabilitas Fungsi Tubuh Pada Anak (dalam persen)
Jenis
Disabilitas Fungsi Tubuh
Kelompok Umur
<1 tahun
1-4 tahun
5-14 tahun
Mental
Sensorik dan nyeri
Bicara dan suara
Kardiovaskuler, hematologi, imunologi dan pencernaan
Pencernaan, metabolisme dan endokrin
Urogenital dan reproduksi
Neuromuskuloskeletal dan pergerakan
Kulit, rambut dan kuku
1,0
1,0
-
16,7
15,2
-
-
1,5
3,0
1,3
3,0
11,6
19,6
0,1
0,3
1,9
2,4
1,8
0,6
5,7
18,1
0,4
0,1
1,3
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas.
Jenis kelainan struktur organ yang terbanyak diderita anak-anak adalah kelainan mata dan telinga.
Tabel 2.2.3 Prevalensi Kelainan Struktur Organ Pada Anak (dalam persen)
Jenis
Kelainan Struktur Organ
Kelompok Umur
<1 tahun
1-4 tahun
5-14 tahun
Sistem syaraf
Mata dan telinga
Pembentukan suara
Kardiovaskuler, imunologi, dan sistem pernafasan
Pencernaan, metabolisme dan endokrin
Sistem urogenital
Kulit, kuku dan rambut
-
1,0
1,5
-
-
-
0,5
-
1,5
0,5
0,1
0,3
0,1
1,0
0,1
1,4
0,7
0,3
0,5
0,2
0,8
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas.
Sedangkan jenis disabilitas partisipasi dan aktivitas yang paling banyak diderita anak umur 5-14 tahun adalah disabilitas belajar dan menerapkan pengetahuan, serta disabilitas komunikasi.
Tabel 2.2.4 Prevalensi Disabilitas Partisipasi dan Aktivitas
Pada Anak Umur 5-14 Tahun
Jenis Disabilitas Partisipasi dan Aktivitas
Prevalens (persen)
Belajar dan menerapkan pengetahuan
Komunikasi
Mobilisasi
Merawat diri sendiri
Melakukan kegiatan rumah tangga
Melakukan interaksi hubungan antar perseorangan
Pendidikan, pekerjaan dan ekonomi
Bermasyarakat, sosial dan kehidupan bernegara
5,1
5,3
0,1
0,1
2,1
0,4
2,0
1,7
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas.
1.STATUS KESEHATAN IBU
Derajat kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data SUSENAS 2001 menunjukkan Angka kematian ibu (AKI) sebesar 394 per 100.000 kelahiran hidup. Dalam kurun waktu 15 tahun AKI tidak menunjukkan penurunan, malah terlihat stagnant. Dari hasil survei tahun 2001 tersebut terlihat bahwa penyebab kematian ibu tertinggi adalah perdarahan termasuk abortus adalah 34,3 persen, diikuti oleh eklampsia (23,7 persen). Data rumah sakit menunjukkan bahwa kematian ibu di rumah sakit semakin meningkat, yaitu dari 4 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 8 per 1000 pada tahun 1999. Case fatality rate kasus maternal juga meningkat dari 0,4 persen (1993 dan 1994) menjadi 0,5 persen (1996) dan 0,8 persen (1999).
2.4. STATUS GIZI
Dari berbagai sumber data dari tahun 1986 sampai 1999, prevalens BBLR berkisar antara 7-16 persen. Diperkirakan ada 5 juta bayi lahir, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 bayi lahir dengan kondisi BBLR.
Data terakhir menurut SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa prevalensi pendek/sangat pendek pada balita mencapai 34 persen, pada anak usia sekolah 5-14 tahun 0,1 persen. Prevalensi kurus/sangat kurus pada balita 16 persen, dan apda anak usia sekolah 0,5 persen. Prevalensi balita dengan gizi kurang/gizi buruk (underweight) 31 persen. Data ini menunjukkan adanya penurunan prevalensi gizi kurang dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1989. Namun demikian ditinjau dari jumlah penduduk dan proporsi balita, jumlah balita dengan gizi buruk pada tahun 2002 dapat dikatakan lebih tinggi daripada tahun 1989. Sedangkan prevalensi gizi kurang pada anak usia sekolah adalah sebesar 0,4 persen pada anak laki-laki dan 0,5 persen pada anak perempuan.
Selain itu, terlihat pula bahwa jumlah dan proporsi balita dengan gizi buruk cenderung meningkat dari tahun 2000 ke tahun 2002. Hasil Susenas 2001 juga menunjukkan bahwa status gizi balita di desa lebih rendah daripada di kota, dan status gizi balita di Kawasan Timur Indonesia lebih rendah daripada di kawasan lain. Data ini menunjukkan bahwa secara umum krisis multi-dimensi di Indonesia juga menimbulkan dampak negatif terhadap status gizi balita.
Masalah gizi lain yang cukup penting adalah adalah defisiensi gizi mikro. Meskipun Indonesia sudah dinyatakan bebas dari xeroftalmia pada tahun 1992, balita di Indonesia berisiko untuk kembali mengalami xeroftalmia. Hal ini disebabkan proporsi balita dengan serum retinol <20mg/100mL masih tinggi. Selain itu kebiasaan balita mengkonsumsi sayur dan buah berwarna masih belum membudaya.
Prevalens gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada anak usia sekolah telah menurun dari 30 persen pada tahun 1980 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Namun demikian masih dijumpai sekitar 7 persen kecamatan endemik berat (prevalens GAKY >30 persen) dan 5,1 persen kabupaten endemik berat.
Data tahun 1986 menunjukkan prevalens anemia defisiensi besi pada perempuan hamil sebesar 73 persen, yang kemudian menurun menjadi 63,5 persen pada tahun 1992 dan 50,9 persen pada tahun 1995. Data SUSENAS 2001 menunjukkan prevalensi anemia diantara balita mencapai 48 persen, dengan prevalensi tertinggi pada bayi <1 tahun. Prevalensi anemia pada balita di desa lebih tinggi daripada di kota. Sedangkan prevalensi anemia pada anak umur 5-14 tahun masih sekitar 28,3 persen.
Data tentang status gizi remaja sangat terbatas. Berdasarkan data SKRT 1995 sekitar 51,7 persen remaja perempuan menderita anemia. Di DKI Jakarta sekitar 17,9 persen siswa SLTA menderita anemia (Budiarso, Lubis dan Kristanti, 1999) dan 42,1 persen memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah normal menurut standard Thomas. Data lain menunjukkan bahwa pada remaja umur 13-19 tahun di Jawa Barat terdapat prevalensi KEP 16,8 persen dan prevalensi anemia 42,4 persen. Sedangkan di Bali prevalensi KEP 30,2 persen dan prevalensi anemia 44,5 persen.
2.5 KETERSEDIAAN AIR BERSIH DAN JAMBAN SANITER
Hasil SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa aksesibilitas terhadap sumber air bersih yang terlindung dalam kurun waktu 3 tahun tidak banyak berubah, yaitu hanya meningkat dari 73 persen menjadi 75 persen (83 persen di Jawa-Bali, 59 persen di Sumatera, dan 60 persen di Kawasan Timur Indonesia), sementara penggunaan jamban saniter meningkat dari 38,9 persen menjadi 61,6 persen.
2.6 PERILAKU KESEHATAN
Data terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalens ASI eksklusif (bayi mendapat hanya ASI saja sampai umur 4 bulan) dari 65,1 persen (Susenas 1998) menjadi 49,2 persen (Susenas 2001). Proporsi bayi mendapatkan ASI eksklusif di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan dan di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di kawasan Jawa, Bali dan Sumatera. Sedangkan ibu menyusui bayinya sampai umur 12-15 bulan sekitar 86 persen, dan sekitar 66 persen menyusui sampai bayi umur 22-23 bulan.
Hanya sekitar 6 persen bayi umur 6-7 bulan belum mendapatkan makanan pendamping ASI (Susenas 2001). Proporsi ini hampir sama antara perdesaan dan perkotaan. Akan tetapi kualitas makanan tambahan yang diberikan kepada bayi kebanyakan tidak adekuat. Umumnya makanan tambahan tersebut hanya mengandung sekitar 50 persen dari jumlah energi yang disarankan WHO dan sekitar 30 persen dari kandungan mikronutrien yang dibutuhkan anak.
Di antara penduduk yang mempunyai keluhan sakit hanya 36,6 persen yang berobat jalan ke sarana pelayanan kesehatan, sebesar 27,8 persen berobat ke Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, 30,55 persen ke dokter praktek, 14,54 persen ke rumah sakit, 14,37 persen ke petugas kesehatan lain, serta 3,5 persen ke dukun/tabib/ sinshe (Susenas 2000).
Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa dari penduduk yang mengeluh sakit dalam 1 bulan terakhir ada sekitar 56,3 persen yang mengobati sendiri. Kondisi ini lebih rendah dari Susenas 1998 yang mencapai 62,2 persen. Di antara yang mengobati sendiri sekitar 85,2 persen menggunakan obat modern, 28,7 persen menggunakan obat tradisional, dan 8,5 persen menggunakan cara lainnya. Penggunaan obat tradisional meningkat hampir 2 kali lipat, dimana pada tahun 1998 hanya mencapai 15 persen.
Posyandu adalah Pos Pelayanan Terpadu yang diselenggarakan oleh masyarakat di tingkat desa. Hasil Survei Potensi Desa (PODES) tahun 2000 menunjukkan bahwa 92 persen desa telah memiliki Posyandu. Di antara desa yang tidak memiliki Posyandu, 50 persen menyatakan mudah menjangkau Posyandu (di desa lain). Berdasarkan data tersebut secara keseluruhan 96 persen desa secara fisik memiliki aksesibilitas ke Posyandu relatif mudah. Namun demikian pemanfaatan Posyandu oleh balita belum seperti yang diharapkan. Menurut Susenas 2001, hanya 40 persen balita dilaporkan dibawa ke Posyandu dalam 1 bulan terakhir dan sekitar 28 persen balita tidak pernah dibawa mengunjungi ke Posyandu. Jika ditinjau dari kelompok umurnya, yang terbanyak memanfaatkan Posyandu adalah bayi 0-11 bulan. Selanjutnya proporsi tersebut menurun seiring dengan meningkatnya umur anak. Di perkotaan lebih banyak yang tidak memanfaatkan Posyandu dibandingkan di perdesaan (30,6 persen vs 25,7 persen).
Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa sekitar 27,7 persen penduduk umur >10 tahun merokok dalam 1 bulan terakhir. Prevalensi merokok di antara penduduk laki-laki adalah 54,5 persen dan di antara penduduk perempuan 1,2 persen. Sekitar 92 persen perokok menyatakan kebiasaan merokoknya di dalam rumah ketika berada bersama dengan anggota rumah tangga lainnya. Sekitar 9,4 persen perokok mulai merokok pada usia 10-14 tahun, dan terbanyak mulai pada usia 15-19 tahun (59,1 persen).
2.7 PELAYANAN KESEHATAN
Dalam upaya meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan, sampai dengan tahun 2000, telah dibangun sarana kesehatan berupa 7.277 Puskesmas (1.818 dengan rawat inap), 21.587 Puskesmas Pembantu, 5.084 Puskesmas Keliling, 935 rumah sakit umum (milik pemerintah, swasta, dan TNI) disertai penempatan tenaga kesehatan di berbagai sarana tersebut dan 54.120 bidan di desa. Namun demikian penampilan dan mutu pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kesehatan ibu dan anak, masih belum optimal. Lemahnya manajemen, belum mantapnya pelayanan rujukan, penyebaran sarana dan prasarana kesehatan yang tidak merata dan kurangnya dukungan logistik dan biaya operasional menyebabkan mutu pelayanan belum seperti yang diharapkan. Meskipun angka rata-rata kunjungan per hari di Puskesmas pada tahun 1996 sudah cukup tinggi (108 kunjungan per Puskesmas per hari), namun tidak sedikit Puskesmas yang kunjungan rata-ratanya per hari <10 orang.
Upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan di Puskesmas digalakkan sejak tahun 1994. Peningkatan mutu (quality assurance) tersebut diarahkan pada upaya pelayanan kesehatan dasar yang memiliki daya ungkit besar dalam menurunkan AKB, AKI, dan tingkat morbiditas penyakit-penyakit utama sebagaimana diuraikan sebelumnya, yaitu pelayanan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, imunisasi, penanggulangan ISPA, pemberantasan diare, malaria, tuberkulosis paru dan vektor demam berdarah, penyuluhan kesehatan, dan upaya kesehatan sekolah.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001, cakupan K1 (pelayanan antenatal yang pertama kali) 90,5 persen. Cakupan K4 (pelayanan antenatal 4 kali) 74.25 persen. Data Susenas 2001 menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami peningkatan. Sebanyak 58,9 persen persalinan, penolong pertamanya adalah tenaga kesehatan (terdiri dari 8,4 persen dokter, 49,7 persen bidan dan 0,8 persen paramedis lain) dan 64 persen penolong terakhirnya adalah tenaga kesehatan (9,1 persen dokter, 53,8 persen bidan dan 1,1 persen paramedis lain).
Pada Susenas 2001 cakupan KB Aktif menurun dari 55,4 persen (1998) menjadi 53,8 persen. Metode kontrasepsi yang dipergunakan berturut-turut dari yang terbanyak adalah suntik 25,8 persen, pil 13,4 persen, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) 6,4 persen dan susuk 4,8 persen.
Penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) ditingkat keluarga (home based) dimaksudkan agar keluarga mempunyai buku catatan dan informasi kesehatan dan tumbuh kembang anak. Model penggunaan Buku KIA pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 1996. Pada saat ini telah digunakan di 24 provinsi di 214 kabupaten/kota. Sekitar 10.000 bidan dan 50.000 kader posyandu dilatih dalam penggunaan Buku KIA dan sekitar 5 juta Buku KIA telah dicetak dan dibagikan kepada ibu-ibu hamil. Setelah anak lahir, buku tersebut menjadi milik anak sekaligus untuk pembinaan perkembangan anak sejak usia dini (early child development).
Menurut laporan Profil Kesehatan 2001, cakupan pemeriksaan neonatal (bayi <1 bulan) adalah 76.26 persen. Meskipun kegiatan deteksi dini dan stimulasi perkembangan anak telah dilaksanakan di unit pelayanan KIA di puskemas sejak tahun 1990, namun data-data tentang pelaksanaan kegiatan tersebut masih sangat terbatas. Kegiatan lainnya adalah manajemen terpadu balita sakit (integrated management of childhood illness) yaitu pendekatan holistik dan terpadu dalam tatalaksana penyakit-penyakit yang menjadi penyebab utama kematian neonatal, bayi dan anak balita mulai diterapkan pada tahun 1997 di 2 propinsi (2 kabupaten di Jawa Timur dan 1 kabupaten Jawa Barat). Sampai saat ini sudah 30 provinsi menerapkan MTBS di sekitar 165 kabupaten/kota.
Program imunisasi telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Data yang tersedia dari pencatatan program imunisasi pada tahun 2001 menunjukkan cakupan Hepatitis B-1 pada bayi umur 0-7 hari 3 persen, dan Hepatitis B-3 67,1 persen. Cakupan imunisasi BCG pada bayi 0-11 bulan mencapai 96,8 persen, DPT-3 90,6 persen, Polio-4 90,4 persen, campak 89,9 persen. Cakupan imunisasi DT pada murid kelas 1 SD mencapai 95 persen, imunisasi TT pada murid kelas 2-6 SD sebesar 94,6 persen, dan cakupan imunisasi TT lengkap (TT-2) pada ibu hamil mencapai 71,9 persen.
Data yang sama menunjukkan cakupan pemberian 90 tablet besi pada ibu hamil mencapai 61,2 persen. Cakupan pemberian kapsul yodium mencapai 44,5 persen pada ibu hamil, 55,4 persen pada ibu nifas, dan 83,3 persen pada anak SD. Pemberian vitamin A mencakup 55,75 persen bayi, 67,8 persen anak balita dan 40,27 persen ibu nifas.
Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang dilaksanakan sejak pertengah tahun 1998 merupakan salah satu upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap derajat kesehatan anak-anak dari keluarga miskin. Sebanyak 12.985.128 keluarga miskin (gakin) dari 13.997.030 sasaran gakin telah memiliki Kartu Sehat (KS) dan sebanyak 6.815.501 gakin (48,7 persen) telah memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia. Sejauh ini bentuk pelayanan kesehatan bagi gakin difokuskan pada pelayanan kesehatan ibu (yaitu pelayanan kebidanan dasar, pertolongan persalinan dan pelayanan nifas) dan PMT Pemulihan pada anak umur 6-23 bulan dan ibu hamil dengan KEK.
Sampai dengan bulan Desember 2002 dari 884.071 bumil gakin, cakupan pelayanan antenatal mencapai 83,4 persen, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 72,2 persen, dan cakupan pelayanan ibu nifas 80,1 persen. Sebanyak 9,6 persen bumil gakin telah menerima pelayanan rujukan baik ke Puskesmas perawatan maupun ke rumah sakit.
Dari sasaran 135.498 bayi gakin berumur 6-11 bulan yang memperoleh PMT Pemulihan sebanyak 40,2 persen, dan dari 240.382 anak gakin berumur 12-23 bulan sebanyak 38,7 persen mendapat PMT Pemulihan. Dari 30.220 ibu hamil (bumil) dengan kekurangan energi kronik (KEK), yang memperoleh PMT Pemulihan adalah 56,2 persen. PMT Penyuluhan diberikan kepada 39,8 persen dari 413.375 anak berusia 24-59 bulan.
2.8 PEMBERDAYAAN KELUARGA
Pembangunan kesehatan juga dilaksanakan melalui pemberdayaan keluarga. Terkait dengan pelayanan kesehatan anak telah didirikan berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat, antara lain Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang mengintegrasikan 5 program, yaitu (1) pemantauan pertumbuhan anak dan upaya perbaikan gizi, (2) pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk pemantauan perkembangan anak, (3) pelayanan keluarga berencana, (4) imunisasi dan (5) penanggulangan diare. Hingga saat ini telah terbentuk sekitar 240.000 Posyandu.
Sejalan dengan penempatan bidan di desa, masyarakat desa berpartisipasi dalam penyediaan dan pengembangan Pondok Bersalin Desa (Polindes). Adanya Polindes menyebabkan masyarakat memiliki aksesibilitas yang lebih baik terhadap pelayanan kebidanan dasar, persalinan, pelayanan ibu nifas, serta pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir, bayi, balita dan anak pra-sekolah. Sampai saat ini telah didirikan 33.083 Polindes.
Untuk mempercepat tercapainya visi Indonesia Sehat 2010 pemberdayaan masyarakat dilaksanakan pula dalam bentuk berbagai gerakan, misalnya Gerakan Sayang Ibu (GSI), Gerakan Anti Madat, Gerakan Peningkatan Penggunaan ASI, Gerakan Pita Putih (Safe Motherhood), Gerakan Pita Merah (HIV/AIDS), Rumah Sakit Sayang Bayi, Gebrak Malaria, Gerakan Terpadu Nasional Tuberkulosis (Gerdunas TB), dan sebagainya.
BAB 3. VISI, MISI DAN TUJUAN
1.VISI DAN MISI PNBAI
Visi dan Misi PNBAI mengacu pada visi dan misi Indonesia Sehat 2010. Adapun definisi sehat yang dimaksud adalah definisi sehat sesuai dengan definisi WHO, yaitu suatu keadaan yang tidak hanya semata-mata bebas dari penyakit dan kecacatan, tetapi suatu keadaan sehat fisik, mental dan sosial.
3.1.1 Visi
Gambaran anak Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan anak adalah setiap anak Indonesia hidup dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan yang sehat dan berperilaku hidup sehat, memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan komprehensif yang bermutu secara adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
3.1.2 Misi
1.Menempatkan kesehatan anak sebagai prioritas utama dalam pembangunan kesehatan maupun pembangunan nasional.
2.Mengembangkan kemampuan keluarga, orang tua dan wali anak dalam memenuhi hak-hak anak untuk menjadi sehat.
3.Menggerakkan berbagai potensi masyarakat dalam mendukung upaya peningkatan derajat kesehatan anak.
4.Meningkatkan derajat kesehatan anak melalui berbagai upaya lintas sektor terkait.
5.Mengembangkan pelayanan kesehatan fisik, mental dan sosial bagi anak Indonesia yang berkualitas dan tersedia secara merata, adil dan terjangkau.
6.Meningkatkan lingkungan fisik, mental dan sosial yang sehat bagi anak.
1.TUJUAN, TARGET DAN INDIKATOR
3.2.1 Tujuan
Tujuan PNBAI bidang Kesehatan mengacu MDG, yang meliputi:
Eradikasi kelaparan dan kemiskinan
Menurunkan angka kematian anak
Meningkatkan kesehatan ibu
Pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain
Menjamin kesinambungan lingkungan
3.2.2 Target dan indikator
Target dan indikator PNBAI mengacu pada target dan indikator WFC, yaitu:
1. Menurunnya AKB dan AKBA pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi 2001
Menurunnya angka kematian bayi menjadi 17 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015, terutama difokuskan pada upaya menurunkan angka kematian neonatal.
Menurunnya angka kematian balita menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Menurunnya angka kematian karena pneumonia dari 5 menjadi 2 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010.
Menurunnya angka kematian akibat diare diantara balita dari 2,5 menjadi 1 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010.
Menurunnya angka kematian akibat campak pada tahun 2005 menjadi 1/2 dari keadaan pada tahun 2001.
Eliminasi tetanus neonatorum pada tahun 2005.
Menurunnya angka kesakitan malaria menjadi 1 per 1000 penduduk dan angka kematian karena malaria sebanyak 75 persen serta menjamin 60 persen penduduk di daerah berisiko malaria – terutama anak dan wanita – menggunakan kelambu yang mengandung insektisida.
Meningkatnya angka kesembuhan penderita TBC dengan BTA positif menjadi > 85 pada tahun 2010.
Desa/kelurahan mencapai Universal Child Immunization (UCI) 100 persen pada tahun 2010.
Menurunnya kasus Acute Flacid Paralysis (AFP) yang ditemukan per 100.000 penduduk < 15 tahun menjadi ³ 1
Meningkatnya cakupan kunjungan neonatus menjadi 90 persen dan cakupan kunjungan bayi menjadi 90 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya cakupan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang ditangani menjadi 100 persen.
Neonatal risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 80 persen.
Meningkatnya cakupan manajemen terpadu pada balita sakit pneumonia, diare, malaria, campak, DBD, infeksi telinga, gizi kurang, menjadi 100 persen pada tahun 2010.
1.Menurunnya AKI pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi pada tahun 2001.
Menurunnya AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010.
Meningkatnya kunjungan ibu hamil K4 menjadi 95 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan menjadi 90 persen pada tahun 2010.
Cakupan ibu hamil risiko tinggi yang dirujuk 100 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya penanganan kasus komplikasi obstetrik menjadi >20 persen pada tahun 2010.
Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan ibu hamil dan neonatus mencapai 80 persen tahun 2010.
Ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 80 persen pada tahun 2010.
Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe mencapai 90 persen pada tahun 2010.
Menurunnya prevalens anemia gizi pada ibu hamil (kadar hemoglobin <8 gr persen) menjadi 20 persen dan anemia pada wanita usia subur menjadi 15 persen pada tahun 2010.
Menurunnya angka kehamilan yang tidak diinginkan dari 17,1 persen menjadi 11 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya kabupaten/kota yang mempunyai sedikitnya 4 puskesmas PONED menjadi 60 persen pada tahun 2010.
Tersedianya tenaga profesional dan fasilitas di RS Kabupaten untuk pelayanan PONEK.
1.Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita menjadi pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi pada tahun 2001 dengan perhatian khusus pada anak di bawah 2 tahun dan penurunan angka BBLR.
Menurunnya prevalensi balita bawah garis merah <15 persen pada tahun 2010.
Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan menjadi 80 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya pemberian ASI disertai makanan pendamping ASI pada anak umur 6 bulan sampai 2 tahun menjadi 80 persen pada tahun 2010
Menurunnya prevalensi BBLR menjadi <5persen pada tahun 2010.
Cakupan balita mendapat kapsul Vitamin A 2 kali per tahun 90 persen pada tahun 2010.
Eradikasi kretin baru pada bayi pada tahun 2010.
Menurunnya total goitre rate menjadi 13 persen pada tahun 2010.
Menurunnya prevalensi anemia pada balita menjadi 16 persen pada tahun 2010.
Menurunnya prevalensi balita pendek/sangat pendek menjadi 10,3 persen pada tahun 2015.
Menurunnya prevalensi balita kurus/sangat kurus menjadi 5,3 persen pada tahun 2015
1.Menurunnya proporsi rumah tangga yang tidak memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas sanitasi dan air bersih yang terjangkau pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari proporsi pada tahun 2001.
Meningkatnya cakupan air bersih dari 73,5 persen menjadi 91,2 persen pada tahun 2015
Meningkatnya cakupan jamban saniter dari 93 persen menjadi 97,7 persen pada tahun 2015
1.Penyelenggaraan program nasional perkembangan anak dini usia (early child development).
Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan bagi balita dan anak pra-sekolah menjadi 80 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya balita yang naik berat badannya menjadi 80 persen
Meningkatnya cakupan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang anak balita dan prasekolah menjadi 90 persen pada tahun 2010.
Sedikitnya 80 persen balita memiliki Buku KIA pada tahun 2010.
Pelayanan gangguan jiwa pada anak di sarana pelayanan kesehatan umum mencapai 15 persen pada tahun 2010.
Tersedianya tenaga profesional dan fasilitas di RS Kabupaten untuk pelayanan rujukan kesehatan dan tumbuh kembang anak.
Cakupan posyandu purnama yang menyelenggarakan kegiatan perkembangan anak dini usia sedikitnya 40 persen.
1.Penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja.
Meningkatnya cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih/Guru UKS/Dokter Kecil 100 persen pada tahun 2010
Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan remaja 80 persen pada tahun 2010.
1.Penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi.
Cakupan KB aktif menjadi 70 persen pada tahun 2010.
Meningkatnya cakupan kasus efek samping/komplikasi KB 100 persen pada tahun 2010.
Sedikitnya 80 persen Puskesmas memberikan pelayanan Kesehatan Reproduksi (PKRE dan PKRK) pada tahun 2010.
BAB 4. S T R A T E G I
Ada lima strategi utama untuk mewujudkan visi dan menjalankan misi Program Nasional Kesehatan Bagi Anak Indonesia. Kelima strategi utama tersebut adalah:
1.Peningkatkan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan.
2.Peningkatkan kerja sama lintas sektor termasuk dengan dukungan lembaga eksekutif dan legislatif di semua tingkatan administrasi.
3.Pemberdayaan keluarga, orang tua dan/atau wali anak.
4.Pemberdayaan masyarakat termasuk LSM, organisasi profesi, dan swasta.
5.Melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk mendukung program kesehatan dan kesejahteraan anak.
BAB V. KEGIATAN POKOK
1. Peningkatkan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan.
Penambahan sarana dan prasarana, tenaga kesehatan dan pengembangan mobile services
Peningkatan mutu layanan melalui kegiatan standardisasi, akreditasi, sertifikasi, penjaminan mutu, pelatihan dan pengembangan model-model intervensi yang tepat guna, lokal spesifik dan berdaya ungkit tinggi
Pemantapan sistem pembiayaan kesehatan melalui pengembangan jaminan kesehatan dan jaring pengaman sosial bagi anak dari keluarga miskin
Peningkatan akses anak-anak pada situasi khusus (mis. anak-anak di wilayah terpencil, anak-anak korban bencana, anak-anak dalam pengungsian, anak-anak dalam wilayah konflik, anak-anak terlantar) terhadap pelayanan kesehatan komprehensif yang bermutu
Peningkatkan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan meliputi upaya kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai berikut:
1.1. Pelayanan kesehatan keluarga
1.Pelayanan kesehatan balita dan anak pra-sekolah yang mencakup pelayanan neonatal esensial, MTBS, deteksi dini dan stimulasi perkembangan pada anak.
2.Pelayanan kesehatan maternal: pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar dan komprehensif.
3.Usaha kesehatan sekolah dan pelayanan kesehatan remaja.
4.Pelayanan kesehatan reproduksi esensial.
1.2. Perbaikan gizi
1.Penanggulangan anemia gizi pada ibu hamil, wanita usia subur dan balita.
2.Peningkatan pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI.
3.Penanggulangan gizi kurang termasuk pemantauan pertumbuhan anak, pemberian makanan tambahan (PMT) dan survei kewaspadaan pangan dan gizi.
4.Suplementasi vitamin A, yodium, zat besi.
1.3. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
1.Pencegahan dan pemberantasan ISPA, diare, malaria, tuberkulosis, PMS, HIV/AIDS.
2.Eliminasi tetanus neonatorum.
3.Imunisasi untuk 7 macam antigen termasuk upaya Eradikasi Polio dan Reduksi Campak.
1.Pelayanan kesehatan jiwa anak dan remaja, termasuk gangguan perkembangan anak serta pencegahan dan penanggulangan penyalah-gunaan narkotik, psikotropika dan zat adiktif.
1.Penyediaan air bersih dan jamban saniter.
2.Promosi perilaku hidup bersih dan sehat termasuk pencegahan kecelakaan dan cedera pada anak
2. Peningkatan kerja sama lintas sektor termasuk lembaga eksekutif dan legistlatif di semua tingkatan administrasi.
1.Melakukan advokasi kepada lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif, unit-unit perencana, dan sektor-sektor terkait agar senantiasa mengutamakan program kesehatan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak.
2.Memastikan adanya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berpihak pada kepentingan kesehatan, utamanya kesehatan anak (healthy public policy).
3.Memastikan dukungan lintas sektor dalam penyelenggaraan upaya peningkatan derajat kesehatan anak.
3. Pemberdayaan Keluarga
1.Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu, suami (ayah), wali anak dan pengasuh anak dalam perawatan dan pengasuhan anak dini usia (0-6 tahun).
2.Meningkatkan perilaku mencari pertolongan kesehatan (health seeking care) secara tepat waktu ke tenaga profesional.
4. Pemberdayaan Masyarakat
1.Peningkatan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat antara lain melalui revitalisasi Posyandu, pemanfaatan Polindes.
2.Melaksanakan berbagai pelatihan bagi kader, tokoh masyarakat dan tenaga sukarela lainnya dalam rangka mengaktifkan berbagai kegiatan kesehatan berbasis masyarakat.
3.Mengembangkan kewaspadaan dan kesiagaan masyarakat dalam menanggulangi berbagai masalah kesehatan ibu dan anak.
4.Mengembangkan peran aktif LSM, organisasi profesi dan swasta, organisasi pemuda, Saka Bakti Husada, dan sebagainya, dalam upaya peningkatan derajat kesehatan anak.
5.Menggali dan memobilisasi potensi masyarakat dalam penyelenggaraan upaya peningkatan derajat kesehatan anak
5. Penelitian dan Pengembangan
1.Mendukung dan turut melaksanakan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang tepat guna, efektif dan efisien.
2.Mendukung dan/atau turut melaksanakan upaya pengembangan metode dan pengelolaan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien
3.Mengembangkan dan melaksanakan prinsip-prinsip perencanaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang berbasis data (evidence based), termasuk pengembangan Sistem Informasi Kesehatan dan Sistem Informasi Manajemen
4.Mengembangkan berbagai peraturan perundang-undangan dan landasan hukum yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, khususnya untuk anak
BAB 6. KELEMBAGAAN
Pengembangan kelembagaan dilakukan melalui 4 upaya utama, yaitu:
pemantapan kelembagaan di tingkat pusat;
pemantapan kelembagaan di daerah, baik di propinsi maupun kabupaten/kota;
pemantapan kelembagaan lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun kabupaten/kota; dan
pemantapan peran lembaga swadaya masyarakat; dan
Pemantapan kelembagaan di tingkat pusat dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan perannya dalam mengembangkan kebijakan, menetapkan standard, dan melakukan pemantauan dan penilaian. Upaya pemantapan dilakukan antara lain dengan:
Penguatan unit-unit yang menangani masalah kesehatan anak di Departemen Kesehatan
Pembentukan lembaga nasional yang menangani masalah kesehatan anak, misalnya berbentuk Institut Nasional Untuk Kesehatan Anak (National Institute for Child Health).
Di tingkat propinsi dan kabupaten/kota pemantapan kelembagaan perlu dilakukan khususnya sehubungan dengan dilaksanakannya desentralisasi dan otonomi daerah. Upaya khusus perlu dilakukan misalnya untuk:
Pemantapan organisasi Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota, disertai dengan upaya pengembangan kapasitas organisasi, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan kemampuan pendanaan.
Pemantapan organisasi pemberi pelayanan kesehatan anak baik pemerintah maupun swasta (rumah sakit, puskesmas, klinik, rumah bersalin, balai kesehatan, laboratorium kesehatan, dan lain-lain).
Pengembangan komunikasi dan koordinasi antar Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, khususnya dalam menanggulangi masalah-masalah kesehatan yang terjadi lintas wilayah.
Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh upaya sektor kesehatan. Untuk menanggulangi suatu masalah kesehatan secara mendasar perlu ditanggulangi faktor-faktor pengaruh yang bukan merupakan masalah kesehatan. Peran sektor-sektor lain sangat dibutuhkan untuk menanggulangi berbagai penyebab mendasar. Upaya untuk meningkatkan peran dan kontribusi lintas sektor antara lain:
Meningkatkan peran dan aktifitas berbagai kelompok kerja lintas sektor yang sudah ada, misalnya kelompok kerja nasional dalam bidang kesehatan reproduksi, penanggulangan HIV/AIDS, safe motherhood, gizi, dan lain-lain.
Menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga lintas sektor dari sektor-sektor terkait seperti Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Departemen Pertanian.
Peran dan partisipasi Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan kesehatan. Untuk itu Pemerintah perlu bekerja sama dengan LSM dan mendorong berdiri dan berkembangnya berbagai LSM yang peduli dan/atau bergerak di bidang kesehatan.
BAB 7. P E N D A N A A N
Dana dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan PNBAI bidang kesehatan meliputi dana dan sumber daya untuk:
pengembangan sumber daya manusia;
pengembangan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan;
pengadaan obat dan bahan habis pakai;
pengembangan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan (pelayanan kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pencegahan dan pemberantasan penyakit, pelayanan kesehatan jiwa, kesehatan lingkungan dan promosi kesehatan);
pengembangan peran serta masyarakat;
pengembangan kelembagaan; dan
penelitian dan pengembangan teknologi.
Kebutuhan untuk pengembangan sumber daya manusia akan mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Melaksanakan pelatihan bagi tenaga kesehatan yang sudah ada, terutama bagi tenaga kesehatan di unit-unit pelayanan kesehatan terdepan seperti Puskesmas Pembantu (Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes), dan Puskesmas, Rumah Sakit Kabupaten/Kota.
Melaksanakan pengangkatan dan penempatan tenaga kesehatan baru, terutama untuk daerah-daerah sulit dan/atau terpencil.
Kebutuhan untuk pengembangan sarana pelayanan kesehatan akan mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Menambah sarana dan prasarana pelayanan kesehatan baru – khususnya sarana pelayanan kesehatan terdepan seperti Pustu, Polindes, Puskesmas dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota – terutama dikaitkan dengan adanya pemekaran wilayah (kabupaten/kota baru).
Memelihara dan merenovasi sarana dan prasarana pelayanan kesehatan lama.
Menambah alat kesehatan sehingga sesuai dengan standard yang ditetapkan.
Kebutuhan untuk pengadaan obat dan bahan habis pakai mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Menyediakan obat esensial termasuk mikronutrien.
Menyediakan vaksin untuk imunisasi dasar (tuberkulosis, DPT, polio, campak, hepatitis).
Menyediakan makanan tambahan bagi anak, khususnya anak umur 6-24 bulan.
Kebutuhan untuk pengembangan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan meliputi dana dan sumber daya untuk
Melaksanakan pelayanan kesehatan.
Manajemen pelayanan kesehatan termasuk pengembangan sistem informasi kesehatan dan sistem informasi manajemen.
Melaksanakan kegiatan supervisi, pemantauan dan evaluasi
Melaksanakan sistem kewaspadaan dini.
Mengembangkan model intervensi yang berdaya ungkit tinggi.
Kebutuhan untuk pengembangan peran serta masyarakat mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Melakukan revitalisasi berbagai kegiatan kesehatan berbasis masyarakat (misalnya revitalisasi 240.000 Posyandu).
Melaksanakan berbagai kegiatan untuk mendorong berdiri dan berperan-aktifnya LSM yang peduli kesehatan.
Kebutuhan untuk pengembangan kelembagaan mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Melakukan berbagai kegiatan dalam rangka advokasi kepada lembaga-lembaga legislatif, unit-unit perencana, dan berbagai sektor terkait.
Melakukan berbagai kegiatan untuk mendorong terbentuk dan berperan-aktifnya berbagai kelembagaan di tingkat pusat sampai kabupaten/kota (misalnya Institut Nasional Untuk Kesehatan Anak, Konsil Kesehatan Kabupaten/Kota).
Kebutuhan untuk pengembangan teknologi mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Menjalin kerja sama dengan berbagai institusi yang melakukan penelitian tentang kesehatan
Bekerja sama dengan institusi pelaksana penelitian melakukan berbagai penelitian terapan dalam bidang kesehatan ibu dan anak.
DAFTAR RUJUKAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan Data Susenas 2001: Status Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan.
__________ (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia.
__________ (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas.
Badan Pusat Statistik Jakarta (2002). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2002.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Sistem Kesehatan Nasional (Draf Rancangan Agustus 2003)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia (2000). Profil Kesehatan Indonesia 2000.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1999). Indonesia Sehat 2010.
Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan World Health Organization (2001). Penilaian Situasi Kesehatan Anak Umur Sekolah Termasuk Remaja di Indonesia.
Pemerintak Republik Indonesia (2002). Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
__________ (2001). Indonesia Country Report. 5th East Asia and Pacific Ministerial Consultation on Shaping the Future Agenda for Children.
Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF (2001). National Report on Follow-up to the World Summit for Children (1990-2000).
__________ (2000). The Situation of Children and Women in Indonesia, 2000
Unicef EAPRO 2003. Report of the Sixth East Asia and Pacific Ministerial Consultation On Children 5-7 May 2003 Bali, Indonesia
World Health Organization (2001). Strategic Directions for Improving the Health and Development of Children and Adolescents.
Pola Pikir Anak Kita
Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward
< Prev Message | Next Message >
RUDY HABIBIE DAN RUDY CHAERUDIN, SUKSES MANA?
Saya ingat waktu di SMA dulu, kami (murid) harus menjalani test IQ untuk
penjurusan. Sekolah saya menetapkan bahwa murid2 dengan IQ tinggi bisa masuk
ke jurusan IPA/Science. Murid dengan IQ sedang hanya bisa masuk jurusan
Sosial dan yang paling rendah IQnya hanya diijinkan untuk masuk ke jurusan
Bahasa. Aturan di sekolah saya ternyata berlawanan dengan aturan dari SMA
swasta terkenal di Yogyakarta yang mengarahkan anak-anak yang berIQ paling
tinggi justru ke jurusan Bahasa.
Sewaktu saya diskusi dengan Romo Mangun Wijaya (Alm) tentang kurikulum
sekolah, Beliau mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih mewarisi
"budaya" kolonial Belanda.
Menurut beliau, seharusnya anak-anak yang kecerdasannya tinggi seharusnya
diarahkan untuk masuk jurusan Sosial supaya di masa mendatang akan lahir
ekonom, hakim, jaksa, pengacara, polisi, diplomat, duta besar, politisi dsb
yang hebat2. Tetapi rupanya hal itu tidak dikehendaki oleh
penguasa(Belanda) .
Belanda menginginkan anak-anak yang cerdas tidak memikirkan
masalah2 sosial politik. Mereka cukup diarahkan untuk menjadi tenaga
ahli/scientist,arsitektur, ahli computer, ahli matematika, dokter, dsb, yang
asyik dengan science di labolatorium (pokoknya yang nggak membahayakan
posisi penguasa). Saya nggak tahu persis yang benar Romo Mangun Wijaya atau
pemerintah Belanda. Hanya saja waktu itu saya yang kuliah ambil jurusan
Kurikulum jadi patah semangat karena kayaknya kurikulum di Indonesia ini
hampir tidak ada hubungannya dengan kehidupan yang akan dijalani orang
setelah keluar dari sekolah.
Kita bisa lihat, Insinyur yang menjadi politisi bahkan memimpin parlemen,
kemudian dokter (umum) bisa menjadi kepala Dinas P & K atau tenaga
marketing, sarjana theologia yang jadi pengusaha, dsb.
Sampai saat ini,
masih banyak orang tua dan masyarakat yang beranggapan bahwa anak yang hebat
adalah anak yang nilai matematika dan science-nya menonjol.
Paradigma berpikir orang tua/masyarakat ini sangat mempengaruhi konsep anak
tentang kesuksesan. Bulan Juni 2003 yang lalu, lembaga tempat saya bekerja
mengadakan seminar anak-anak.
Di depan 800-an anak, Kak Seto Mulyadi (Si Komo) menunjukkan 5 Rudy.
Yang pertama Rudy Habibie (BJ Habibie) yang genius, pintar bikin pesawat dan
bisa menjadi presiden.
Yang kedua: Rudy Hartono yang pernah beberapa menjadi juara bulu tangkis
kelas dunia.
Yang ketiga: Rudy Salam yang suka main sinetron di TV.
Yang keempat: Rudy Hadisuarno yang ahli di bidang kecantikan dan punya
banyak salon kecantikan di beberapa kota.
Yang kelima: Rudy Choirudin yang jago masak dan sering tampil memandu acara
memasak di TV.
Sewaktu Kak Seto bertanya "Rudy yang mana yang paling sukses menurut
kalian?" Hampir semua anak menjawab "Rudy Habibie"
Sewaktu ditanyakan
"Mengapa, kalian bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?"
Anak-anakpun menjawab "Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa menjadi
presiden, dsb"
Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yang mana yang paling tidak sukses?"
Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin" Ketika ditanyakan "Mengapa
kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang yang sukses?"
Anak-anakpun menjawab "Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak"
Memang begitulah pola pikir dan pola asuh dalam keluarga dan masyarakat
Indonesia pada umumnya yang masih menilai kesuksesan orang dari karya-karya
besar yang dihasilkannya. Masyarakat kita banyak yang belum bisa melihat
kesuksesan adalah pengembangan talenta secara optimal sehingga bisa
dimanfaatkan dalam kehidupan yang dijalaninya dengan "enjoy".
Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya.
Padahal kenyataannya EQ, SQ dan
faktor2 lain juga sangat
menentukan. Dalam seminar tsb Kak Seto hanya ingin merubah paragidma
berpikir anak-anak (dan juga orang tua/keluarga).
Anak-anak dan orang tua
harus menyadari dan mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh Tuhan.
Bila talenta tersebut dikembangkan dengan baik, maka kita bisa mencapai
kesuksesan di "bidangnya".
Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar matematika,
anak2 tidak perlu
minder dan orang tua tidak perlu malu atau menekan anak. Anak-anak yang
lebih menyukai pelajaran menggambar dari pada
pelajaran2 lain, bukanlah
anak-anak yang bodoh karena justru anak2 yang punya imajinasi tinggilah yang
pintar menggambar/ melukis. Anak-anak yang suka ngobrol, kalau kita arahkan
bisa saja kelak menjadi politisi atau negotiator yang baik.
Anak-anak yang banyak bicara, kalau diarahkan untuk menuliskan apa yang
ingin dibicarakan bisa2 menjadi penulis yang hebat.
*** Mbak Dwi Setyani
juga mengingatkan kita untuk lebih memfokuskan pada kekuatan kita daripada
"wasting time" bersungut-sungut, hanya memikirkan kelemahan kita. Saya
pernah membaca pengalaman hidup seorang penyanyi di Amerika. Penyanyi tsb
dulunya tidak PD karena wajahnya tidak terlalu cantik dan giginya tonggos.
Saat menyanyi di pub, dia repot mengatur bibirnya supaya giginya yang
tonggos tidak dilihat orang. Hasilnya: ia hanya bisa menghasilkan suara yang
pas-pasan. Ketika temannya meyakinkan bahwa giginya yang tonggos itu
bukanlah masalah, maka iapun bisa menyanyi dengan bebas dan meng-eksplore
suara emasnya. Ternyata orang-orang mengingat penyanyi itu karena kualitas
suaranya, bukan parasnya yang jelek dengan gigi tonggosnya.
*** Kitapun meyakini bahwa Tuhan menciptakan setiap kita (manusia) dengan
maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja kita meyakini hal
tersebut, maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan talenta
yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.
_________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com
=============================================
Diz Mailing List has been well designed for Watugong 28 Malang
Community.
KEEP DIZ STILL FUNKY ALWAYS !!!!!!
=============================================
Kalo temen2 tau ada anak watugong 28 yang punya email tapi belum
gabung bisa hubungi via : andywashere@...
or 081 23356469
Yahoo! Groups Links
from http://groups.yahoo.com/group/wisma_rilex69/message/278
December 15, 2004 from http://www.doktertomi.com/2004/12/15/karakter-dan-urutan-kelahiran/ diakses 3 novevember 2008 oleh antz
Karakter dan Urutan Kelahiran
Pasangan Anda anak sulung, tengah, atau bungsu? Percaya atau tidak, urutan kelahiran bisa memengaruhi perilaku seseorang dalam menjalin cinta. Mungkin Anda pernah mendengar bahwa dalam budaya masyarakat tertentu banyak yang percaya anak sulung sebaiknya tak menikah dengan anak sulung juga, misalnya. Walau dasar kepercayaan tersebut sekarang ini sangat sulit ditelusuri lagi asal-usulnya, dan mungkin Anda menganggap hal tersebut sebagai isapan jempol belaka, para ilmuwan abad 20 menemukan beberapa bukti yang kemungkinan besar bisa mendukung kepercayaan semacam itu.
Walau masih bisa dibilang kontroversial, beberapa penelitian membuktikan karakteristik kepribadian seseorang ditentukan, salah satunya, oleh urutan kelahirannya. Artinya, walau berasal dari keluarga yang sama dan dididik dengan cara yang kurang lebih sama, anak sulung, tengah, atau bungsu, bisa memiliki perbedaan sifat, termasuk dalam kehidupan percintaannya. Bahkan, ada beberapa ahli yang berani memprediksikan bagaimana keharmonisan suatu pasangan hanya dengan melihat urutan kelahiran mereka.
Melihat Urutan Kelahiran
Sebelum melihat bagaimana perbedaan si sulung, bungsu, atau tengah dalam kehidupan cintanya, kita perlu tahu dulu bagaimana menentukan urutan kelahiran. Soalnya, analisis urutan kelahiran sebenarnya tidak semudah kelihatannya. Penentuan urutan kelahiran tidak selalu terpaku pada urutan kelahiran sebenarnya, tetapi juga tergantung pada hal-hal lain, seperti jarak kelahiran serta banyaknya anak. Pada keluarga dengan empat anak, misalnya, anak kedua dan ketiga tidak harus dipandang sebagai anak tengah semua. Bahkan, dalam keluarga yang memiliki banyak anak, anak tertua bisa saja memiliki kepribadian dan sifat yang lebih mendekati ciri-ciri anak tunggal, sementara anak kedua bisa saja memiliki karakteristik anak bungsu. Anak yang jarak kelahirannya cukup jauh dengan si kakak, misalnya sampai lima atau enam tahun, juga bisa bersikap dan bertingkah laku seperti layaknya anak sulung. Atau, anak laki-laki yang lahir setelah beberapa anak perempuan, atau sebaliknya juga cenderung memiliki sifat yang sama persis dengan yang biasa ditunjukkan oleh anak sulung. Selain itu, anak yang lahir setelah si ibu mengalami keguguran, atau kakaknya meninggal sewaktu masih kecil oleh beberapa ahli digolongkan ke dalam kelompok tersendiri, yang biasa disebut sebagai ghost child. Menurut beberapa ahli-ahli tersebut, kelompok ini memiliki ciri kepribadian yang berbeda dengan kelompok lain. Misalnya, dikatakan ghost child memiliki jiwa bersaing yang sama dengan anak tengah dan memiliki tanggung jawab besar seperti anak sulung. Lalu, bagaimana karakteristik masing-masing anak dalam kehidupan cintanya?
ANAK SULUNG : Pro Status Quo dan Setia
Anak sulung, menurut beberapa ahli /psikologi cenderung mengambil posisi sebagai pemimpin. Kecenderungan lainnya adalah dorongan mereka untuk mengikuti norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan kesuksesan mereka beradaptasi dalam suatu lingkungan yang sudah mapan. Karakteristik umum anak sulung adalah sifat mereka yang bertanggung jawab dan cenderung mengikuti aturan. Menurut para ahli, anak sulung memiliki kecenderungan menikahi orang yang ia cintai sejak masa pubernya, ketika ia masih mengalami "cinta monyet". Jika pasangan Anda adalah anak sulung, kemungkinan besar rumah tangga yang Anda bina akan langgeng karena mereka cenderung mempertahankan hubungan yang tidak harmonis sekalipun, dan berusaha keras memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam hubungan rumah tangga mereka.
ANAK TENGAH : Pandai Benegosiasi dan Dominan
Di antara anak sulung dan anak bungsu adalah anak tengah, yang terkenal dengan keterampilan mereka bernegosiasi. Karena posisi mereka yang "terjepit" di antara anak sulung yang biasanya diserahi tanggung jawab besar dan anak bungsu yang mendapat perhatian lebih, mereka selalu harus berjuang untuk mendapatkan perhatian dari orangtua atau orang-orang lain di sekitarnya. Para anak tengah memiliki kecenderungan menikah dalam usia relatif muda (dalam usahanya untuk selalu menjadi nomor satu), atau sangat terlambat, ketika mereka yakin benar sudah menemukan pasangan yang benar-benar tepat. Anak tengah bisa dibilang pasangan yang amat menyenangkan, karena mereka memiliki kecenderungan menyenangkan pasangannya. Walau begitu, dalam hubungan rumah tangga, anak tengah bisa sangat "gigih" berjuang mendominasi peran dalam keluarga.
ANAK BUNGSU : Populer dan Mudah Puas
Anak-anak yang biasanya lahir paling belakangan memiliki pembawaan yang menyenangkan. Mereka pandai bergaul, populer, dan mudah membuat orang jatuh hati. Para anak bungsu tergolong amat mudah dipuaskan, dan ketika terlibat dalam hubungan percintaan mereka biasanya sangat terpaku dengan hubungan tersebut. Perhatian yang kecil saja sudah cukup membuat anak bungsu "bertekuk lutut". Tetapi, di balik sifatnya yang menyenangkan tersebut, jangan sekali-kali mencoba untuk mendominasi anak bungsu. Anak bungsu memiliki kecenderungan kuat untuk menentang, atau paling tidak, mempertanyakan otoritas. Mereka lebih suka dianggap sederajat dengan pasangannya daripada dipandang sebagai menurut kepada pasangannya. Hal positif lain dari anak bungsu: mereka memiliki selera humor yang paling baik bila dibanding kakak-kakaknya.
ANAK KEMBAR : Bisa Seperti Sulung atau Bungsu
Karakteristik kepribadian anak kembar amat tergantung pada perannya: sebagai kakak atau adik. Anak kembar yang lahir lebih dulu secara "tradisional" biasanya dianggap sebagai kakak, dan anak yang lahir belakangan sebagai adik. Padahal, berdasarkan beberapa penelitian terhadap anak-anak kembar urutan sulung atau bungsu pada anak kembar tak selalu tetap. Para peneliti, misalnya, menemukan bahwa ketika usia mereka sudah mencapai sekitar 11 atau 12 tahun peran ini bisa bertukar sama sekali. Artinya, anak yang lahir lebih dulu akan memposisikan diri sebagai adik, dan sebaliknya, anak yang lahir belakangan jadi kakak. Sedangkan sifat dan karakteristik kepribadian mereka serta kehidupan cinta mereka tak berbeda dengan anak sulung untuk kembar yang memposisikan diri sebagai sulung dan sebaliknya.
ANAK TUNGGAL : Dapat Diandalkan dan Cenderung Selingkuh
Karakteristik anak tunggal bisa dibilang nyaris sama dengan sifat-sifat anak sulung. Hanya saja, kadarnya lebih kuat. Mereka amat dapat diandalkan, setia, dan amat membutuhkan perhatian dari orang yang dicintainya. Dalam banyak aspek kehidupannya, seperti pekerjaan dan bahkan dalam hubungan percintaan, mereka juga cenderung berjuang sekuat tenaga untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Jadi, kalau kebetulan Anda ditaksir pria anak tunggal, jangan kaget kalau dia melakukan hal-hal yang benar-benar tak terduga. Perbedaan anak tunggal dengan sulung adalah mereka lebih kurang perfeksionis. Dalam hubungan percintaan, anak tunggaljuga cenderung memiliki beberapa kekasih, sepanjang mereka yakin tak akan ketahuan. Walau mereka juga cenderung mengikuti aturan seperti anak sulung, di belakang mereka berusaha menemukan cara melanggar aturan atau norma.
From http://209.85.175.104/search?q=cache:msLqIIkVj4wJ:media.diknas.go.id/media/document/4368.pdf+pengaruh+orang+tua+yang+memanjakan+anak&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id
PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA
TERHADAP PENDIDIKAN ANAK
Pendahuluan amomin
Tidak dapat disangkal lagi betapa pentingnya pendidikan dalam lingkungan
keluarga bagi perkembangan anak-anak manusia yang pribadi dan berguna bagi
masyarakat. Kita semua tentu telah mengetahui bahwa pengaruh keluarga terhadap
pendidikan anak-anak berbeda-beda. Sebagian keluarga atau orang tua mendidik anak-
anaknya menurut pendirian-pendirian modern, sedangkan sebagian lagi masih menganut
pendirian-pendirian kuno atau kolot.
Keadaan tiap-tiap keluarga berbeda-beda pula satu sama lain. Ada keluarga yang
kaya, ada yang kurang mampu. Dan keluarga yang besar (banyak anggota keluarganya),
dan ada pula keluarga yang kecil. Ada keluarga yang selalu diliputi oleh suasana yang
tenang dan tenteram, ada pula yang selalu gaduh, bercekcok, dan sebagainya. Dengan
sendirinya, keadaan dalam keluarga yang bermacam-macam coraknya itu akan membawa
pengaruh yang berbeda-beda pula terhadap pendidikan anak-anak.
Dari kecil anak dipelihara dan dibesarkan oleh dan dalam keluarga. Segala
sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang berupa benda-benda dan orang-orang serta
peraturan-peraturan dan adat-istiadat yang berlaku dalam keluarga itu sangat berpengaruh
dan menentukan corak perkembangan anak-anak. Bagaimana cara mendidik yang berlaku
dalam keluarga itu, demikianlah cara anak itu mereaksi terhadap lingkungannya.
Page 2
Pembahasan
1. Pengertian pendidikan orang tua terhadap anak-Anak.
Pendidikan oraang tua terhadap anak-anak adalah pendidikan yang didasarkan
pada rasa kasih sayang terhadap anak-anak dan kodrat yang diterimanya. Orang tua
adalah pendidik sejati. Oleh karena itu, kasih sayang orang tua terhadap anak-anak
hendaknya memberikan kasih sayang yang sejati pula. ”J. J. Roussseau (1712-1778),
sebagai salah satu seorang pelopor ilmu jiwa anak, mengutarakan pula betapa pentingnya
pendidikan keluarga itu. Ia menganjurkan agar pendidikan anak-anak disesuaikan dengan
tiap-tiap masa perkembangannya sedari kecilnya”. (Ngalim Purwanto, 1995:79).
Dalam hal ini hendaknya kita harus ingat pula bahwa pendidikan berdasarkan
kasih sayang saja kadang-kadang mendatangkan bahaya. Kasih sayang harus dijaga
jangan sampai berubah menjadi memanjakannya. kasih sayang harus dilengkapi dengan
pandangan yang sehat tentang sikap kita terhadap anak.
2. Hal-hal yang perlu dihindari oleh orang tua dalam mendidik anak.
a. Jangan sering melemahkan semangat anak dalam usahanya untuk mandiri.
Dalam hal ini masih banyak orang tua yang selalu menganggap anaknya
itu masih kecil, belum dapat berbuat atau mengerjakan sesuatu sehungga orang
tua kerap kali melarang anak-anaknya. Larangan merupakan alat mendidik satu-
satumya yang lebih banyak dipakai oleh para orang tua terhadap anaknya.
Sebenarnya pendapat yang seperti itu tidak benar. Seorang anak yang selalu
dilarang dalam segala perbuatan dan permainannya sejak kecil dapat terhambat
perkembangan jasmani dan rohaninya.
Page 3
b. Jangan memalukan/ mengejek anak-anak dimuka orang lain.
Sangat kita sayangkan pendapat orang tua, bahkan juga gurunya, yang
masih menganggap alat pendidikan yang salah ini sebagai satu-satunya cara
mendidik yang dapat mendatangkan hasil. Padahal anak yang sering ditertawakan
dan diejek jika tidak berhasil melakukan sesuatu, maka dengan tidak sadar ia akan
selalu berhati-hati tidak akan mencoba melakukan yang baru atau yang sukar. Ia
akan menjadi orang yang selalu diliputi oleh keragu-raguan.
c. Jangan selalu membeda-bedakan dan berlaku ”pilih kasih”.
Perlakuan ini terhadap anak-anak dalam keluarga kita, baik antara yang
besar dan kecil maupun antara anak laki-laki dan anak perempuan akan
mengakibatkan kecemburuan dan kompetisi yang negative. Jadi usahakan agar
dalam segala tingkah laku dan perbuatan kita menunjukkan cinta dan kasih
sayang yang merata kepada mereka.
d. Jangan memanjakan anak.
Seorang anak yang dimanjakan akan kurang rasa tanggung jawabnya,
selalu bersandar dan minta pertolongan kepada orang lain, merasa diri tidak
sanggup, dan sebagainya. Tidak memanjakan bukan berarti kita tidak
mempedulikannya, karena anak yang tidak dipedulikaan atau kurang terpelihara
oleh orang tuanya, akan merasa bahwa dirinya itu rendah tak berharga, merasa
diasingkan oleh orang lain, dan sebagainya. Akibatnya, ia akan berbuat
sekehendak hatinya. (Ngalim Purwanto, 1995:85-86).
Page 4
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah kami paparkan dapat kami simpulkan bahwa:
1. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang berupa benda-benda dan orang-
orang serta peraturan-peraturan dan adat-istiadat yang berlaku dalam keluarga itu
sangat berpengaruh dan menentukan corak perkembangan anak-anak.
2. Hal-hal yang perlu dihindari oleh orang tua dalam mendidik anak:
a. Jangan sering melemahkan semangat anak dalam usahanya untuk mandiri.
b. Jangan memalukan/ mengejek anak-anak dimuka orang lain.
c. Jangan terlalu membeda-bedakan dan berlaku ”pilih kasih”.
d. Jangan memanjakan anak tetapi tidak baik pula jika kita tidak mempedulikannya.
Daftar Pustaka
Purwanto, M. Ngalim. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis daan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Oleg ciwiday
Michael Guriaan dalam bukunya What Could He Be Thinking? How a Man’s Mind Really Works menjelaskan, perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan terletak pada ukuran bagian-bagian otak, bagaimana bagian itu berhubungan serta cara kerjanya. Perbedaan mendasar antarkedua jenis kelamin itu adalah:
1. Perbedaan spasial
Pada laki-laki otak cenderung berkembang dan memiliki spasial yang lebih kompleks seperti kemampuan perancangan mekanis, pengukuran penentuan arah abstraksi, dan manipulasi benda-benda fisik. Tak heran jika laki-laki suka sekali mengutak-atik kendaraan.
2. Perbedaan verbal
Daerah korteks otak pria lebih banyak tersedot untuk melakukan fungsi-fungsi spasial dan cenderung memberi porsi sedikit pada daerah korteksnya untuk memproduksi dan menggunakan kata-kata. Kumpulan saraf yang menghubungkan otak kiri-kanan atau corpus collosum otak laki-laki lebih kecil seperempat ketimbang otak perempuan. Bila otak pria hanya menggunakan belahan otak kanan, otak perempuan bisa memaksimalkan keduanya. Itulah mengapa perempuan lebih banyak bicara ketimbang pria. Dalam sebuah penelitian disebutkan, perempuan menggunakan sekitar 20.000 kata per hari, sementara pria hanya 7.000 kata!
3. Perbedaan bahan kimia
Otak perempuan lebih banyak mengandung serotonin yang membuatnya bersikap tenang. Tak aneh jika wanita lebih kalem ketika menanggapi ancaman yang melibatkan fisik, sedangkan laki-laki lebih cepat naik pitam. Selain itu, otak perempuan juga memiliki oksitosin, yaitu zat yang mengikat manusia dengan manusia lain atau dengan benda lebih banyak. Dua hal inimempengaruhi kecenderungan biologis otak pria untuk tidak bertindak lebih dahulu ketimbang bicara. Ini berbeda dengan perempuan.
4. Memori lebih kecil
Pusat memori (hippocampus) pada otak perempuan lebih besar ketimbang pada otak pria. Ini bisa menjawab pertanyaan kenapa bila laki-laki mudah lupa, sementara wanita bisa mengingat segala detail. *** (intisari)
Tags: o kinikutau
Prev: PERTOLONGAN ALLAHhttp://ciwidey.multiply.com/journal/item/21/Beda_Otak_Laki-laki_dan_Perempuan_?&item_id=21&view:replies=reverse
Next: Rina merasa "Didzolimi" atasannya
Friday, 19 October 2007
Yusi Elsiano Rosmansyah
Hindari membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan yang lainnya
Setiap orangtua tentu mendambakan semua anaknya menjadi orang yang sukses, cerdas, percaya diri dan berbudi baik. Begitupun yang diharapkan oleh setiap anak, mereka ingin selalu mendapatkan kasih sayang, perhatian, pujian dan dukungan dari orangtuanya.
Namun sayang, terkadang harapan dan impian yang diinginkan oleh anak-anak dan orangtua tidak dapat diwujudkan sesuai dengan kemampuan dan dalam waktu yang bersamaan. Tentunya semua itu disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki oleh masing-msing individu.
Menyadari bahwa pada diri setiap manusia terdapat kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda, ada kemungkinan terjadi sesuatu hal yang dapat membanggakan dan sebaliknya menimbulkan rasa sedih, kecewa, marah dan sulit untk menerima sebuah perilaku dan pencapaian yang dilakuka oleh masing-masing pihak (orangtua dan anak).
Walaupun, pada umumnya pihak yang pertama dapat merasakan dan menilai kekurangan dan kelebihan tersebut adalah pihak orangtua. Jarang sekali anak-anak, terutama anak yang belum dewasa dapat melihat diri seseorang dari sisi kelebihan dan kekurangan secara tepat.
Dari sisi usia dan pengalaman yang jauh berbeda antara orangtua dan anak-anak, sebagai orangtua bijaksana seyogyanya selalu berusaha untuk dapat memahami kondisi dan karakteristik setiap anak.
Terciptanya sikap saling memahami yang diawali oleh orangtua dapat menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga. Orangtua akan mampu menerima anak-anak apa adanya dan tidak mengharapkan sesuatu yang melebihi kemampuan yang dimiliki oleh mereka.
Di masyarakat kita, ada satu kesalahan yang kerap dilakukan oleh orangtua terhadap anak-anak, yaitu sikap orangtua yang selalu membanding-bandingkan secara tidak adil antara kemampuan anak yang satu dengan lainnya. Misalnya, dengan mengatakan kepada anak bahwa saudaranya atau anak-anak lain lebih baik darinya.
Tindakan membanding-bandingkan yang dilakukan orangtua seperti di atas, jika dilakuan secara terus menerus bukan hanya akan membuat anak-anak merasa tertekan (stress), tidak berguna, putus asa dan rendah diri saja, tetapi bahkan dapat menciptakan sikap permusuhan di antara kakak-beradik sehingga meninggalkan sebuah luka batin yang akan terbawa sampai mereka dewasa kelak.
Di dalam hati anak-anak akan cenderung timbul rasa iri, cemburu, dengki, bersaing tidak sehat dan saling menjatuhkan satu dengan lainnya. Perilaku negatif yang mereka lakukan hanya karena ingin menjadi anak yang memiliki nilai ‘lebih’ di mata orangtua sehingga dapat menarik perhatian dan kasih sayang orangtua.
Walaupun sejatinya, kasih sayang, cinta, perhatian, dan pengertian orangtua adalah milik semua anak dan harus dapat dirasakan oleh setiap anak.
Beberapa pencapaian yang diperoleh anak-anak di dalam sebuah keluarga tentu berbeda-beda. Mungkin sebagian dari mereka ada yang memiliki kelebihan di bidang pendidikan sebab ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya, ada yang sering mendapatkan kejuaraan di bidang seni atau mungkin juga ada yang berprestasi di bidang olah raga sehingga ia sering mendapatkan penghargaan dan kejuaraan yang membanggakan orangtua.
Dari beberapa kelebihan anak yang dapat membanggakan orangtua, ada sebagian hal yang dianggap negatif dimata orang dewasa karena perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial. Misalnya sulit konsentrasi, suka belajar sambil mendengarkan musik keras, harus sering diingatkan, dan tidak peduli pada diri (super cu-ek). Namun, perilaku negatif yang mereka lakukan adakalanya merupakan bagian dari kekurangan yang mereka miliki.
Segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap anak merupakan sebuah tantangan yang sangat berharga bagi orangtua. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh anak merupakan sarana sekaligus tugas dan tanggungjawab orangtua untuk menciptakan generasi agar menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya, orangtua malah bersikap melecehkan, menghina, dan mengkritik kekurangan yang dimiliki anak dan pelit dalam memuji, mengapresiasi dan memotivasi kelebihan yang dimiliki oleh anak.
Menginformasikan sebuah prestasi atau pencapaian yang diraih oleh orang lain kepada anak adalah perlu, agar anak merasa termotivasi dan selalu berusaha untuk selalu memperbaiki kepribadian dan kemampuannya sehingga ia mampu mencapai apa yang menjadi impian, cita-cita dan harapannya.
Namun, upaya dan tindakan orangtua di atas harus dilakukan dengan tepat dan baik. Maksudnya, sebagai orangtua bukan hanya menuntut agar anaknya menjadi seperti anak lain atau saudara lainnya yang berprestasi, tetapi juga perlu didukung dengan memberikan dukungan secara fisik dan psikis dari orangtuanya.
Muhammad Rasyid Dimas (2006) berpendapat bahwa merangsang anak agar memerhatikan anak lain adalah perlu, namun harus dilakukan dengan dua tujuan yaitu:
Untuk mengingatkan anak bahwa ada orang yang lebih baik akhlaknya, perilakunya, dan capaiannya darinya serta untuk menarik perhatiannya tentang sifat-sifat istimewa yang harus dimilikinya. Itu dimaksudkan agar sedapat mungkin ia terdorong untuk meniru.
Untuk menanamkan rasa percaya diri dan menyadari nilai dirinya saat membandingkan dirinya dengan orang yang lebih rendah prestasinya. Ia juga diharapkan mengetahui apa yang menjadi kelebihannya dan capaian-capaian yang bisa diwujudkannya.
Sikap orangtua yang tidak menuntut anak-anak secara berlebihan dan tidak membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan lainnya tanpa tujuan, mampu menciptakan kerukunan hidup di antara kakak-beradik untuk saling membantu, empati dan menghargai. [ye]
http://www.perkembangananak.com/2007/10/hindari-membanding-bandingkan-antara.html?widgetType=BlogArchive&widgetId=BlogArchive1&action=toggle&dir=close&toggle=YEARLY-1199120400000&toggleopen=MONTHLY-1217523600000
Oleh: Ira Petranto
(Psikolog, Dosen, Penulis Buku)*
Rasa Percaya Diri Anak adalah pantulan Pola Asuh Orang Tuanya.
Salam Hangat Dari Jakarta! From http://dwpptrijenewa.isuisse.com/bulletin/?p=32
Pertama-tama izinkanlah saya mengucapkan Selamat! Kepada DWP PTRI Jenewa yang telah meluncurkan website pengganti Buletin DWP PTRI Jenewa. Sebuah langkah cerdas yang sangat efisien, menghemat kertas maupun tetek bengek lainnya, yang dilain pihak mencerdaskan anggota dan informasinya bisa dinikmati seluruh anggota DWP di seluruh dunia. Tidak terbayangkan saya dari Jakarta bisa membaca bulletin DWP PTRI Jenewa pada saat yang bersamaan dengan anggota DWP PTRI Jenewa sendiri.
Rasanya baru kemarin (padahal sudah 3 tahun yang lalu, tahun 2003) kami mengasuh Buletin DWP PTRI Jenewa yang pada saat itu rasanya sudah canggih sekali :(, karena untuk pertama kalinya kami sudah menggunakan komputerisasi untuk menyusun bulletin. Bersama Sari Tata selaku designer grafis dan Anis Bantan selaku editor (Apa kabar Mbak Sari & Mbak Anis? Pls comment) , rasanya pada waktu itu upaya kami sudah sangat efisien. Tidak terpikirkan pada waktu itu untuk membuat website seperti saat ini, apalagi bisa dengan hanya menggunakan teknik blog. Bravo! DWP PTRI Jenewa.
Kemarin Ibu Rus sms saya, mengundang untuk mengisi rubrik psikologi untuk website ini. Dengan senang hati saya bersedia. Saya tanyakan pada beliau apakah ada topik yang sedang hangat di Jenewa yang diinginkan. Akan tetapi beliau hanya mengatakan tentang anak. Yo wis, saya akan coba menuliskan satu topik tentang psikologi anak. Mudah-mudahan bermanfaat. Di lain waktu, silahkan Ibu-Ibu mengajukan satu topik psikologi tertentu, lengkap dengan concern2 nya, saya akan berusaha untuk menuliskan artikel tentang itu untuk Ibu-Ibu.
Self Esteem (Harga Diri) pada anak
Bicara tentang anak, memang tidak ada habisnya. Dari sekian banyak penanganan klien yang saya garap baik di LPT UI maupun di klinik pribadi saya di Kebayoran Baru, hampir separuhnya adalah berupa Terapi Keluarga, sehubungan dengan problem seputar anak. Dalam hal ini saya tidak akan membatasi dengan anak usia tertentu, karena tentu berbeda penanganan anak balita, usia sekolah, usia puber, usia remaja, dan usia dewasa dini. Namun apabila saya mengatakan pola asuh, maka pola asuh yang dimaksud adalah pola asuh di usia awal anak, yaitu di usia sekolah sampai usia puber. Setelah itu, biasanya pada usia remaja, anak akan banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya (sekolah dan lingkungan lainnya). Sedangkan dalam menggunakan istilah Self Esteem (Harga Diri), saya merujuk pada anak-anak pada usia sekolah, puber, dan remaja.
Kita tahu, bahwa persoalan anak adalah persoalan orang tua juga, dan persoalan keluarga. Anak yang bermasalah akan mempengaruhi keseluruhan system keluarga, sebaliknya, keseluruhan system keluarga juga dapat berkontribusi terhadap persoalan pada anak.
Sebagai contoh, anak yang suka berbohong akan membuat orang tua menjadi pemarah, menjadi tidak akur satu dengan lainnya, akan menjadi contoh buruk pada adiknya, serta mengakibatkan suasana tidak nyaman di rumah. Persoalan satu anak membuat suasana yang berbeda di dalam keluarga. Sebaliknya, anak yang berbohong juga bisa berasal dari system keluarga yang tidak membuatnya nyaman. Mungkin tekanan yang berlebihan ataupun pengharapan yang terlalu tinggi melampaui kapasitas kemampuan anak, membuat anak memilih untuk berbohong daripada mengakui rapornya buruk, misalnya.
Dalam hal yang terakhir ini, yaitu pengaruh system keluarga pada anak, kita mengenal apa yang disebut Pola Asuh orang tua. Pola asuh orang tua ini sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak berperilaku, bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Pola asuh anak juga akan mempengaruhi Self Esteem atau harga dirinya di kemudian hari.
Self Esteem adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang berkembang dari feeling of belonging (perasaan diterima oleh kelompok sosialnya), feeling competent (perasaan efisien, produktif) dan feeling worthwhile (perasaan berharga, cantik, pandai, baik) (Felker, 1998). Jadi Harga diri seseorang bisa dikatakan baik apabila ia merasa diterima oleh kelompok sosialnya, merasa mampu dan merasa berharga.
Hal-hal ini adalah yang diinginkan oleh setiap orang tua pada anaknya. Setiap orang tua yang merasa memiliki anak-anak dengan perasaan tersebut di atas tentu bangga dan rasanya tidak sia-sia membesarkannya dan rasanya apa yang telah diperbuatnya kepada anak memang adalah hal yang benar.
Namun seringkali orang tua berperilaku sebaliknya. Artinya, ia baru merasa bangga pada anaknya apabila anaknya diterima oleh kelompoknya, kompeten kalau bisa dalam segala bidang, dan punya nilai lebih dimata orang lain seperti cantik, pintar, mahir dalam melakukan sesuatu dst. Hal ini biasanya bukanlah menambah rasa harga diri anak, melainkan justru seringkali merupakan ‘alat ampuh’ untuk mematikan harga diri anak. Karena tanpa hal-hal tersebut maka si anak tidak pantas memiliki harga diri. Padahal harga diri si anak justru berkembang dari bagaimana perlakuan orang tua terhadap anaknya. Sehingga yang terpenting adalah perasaan diterima, perasaan kompeten dan perasaan berharga dari si anak itu sendiri terhadap dirinya, dan bukan dari orang tuanya.
Anak perlu diajarkan untuk memiliki self confidence (rasa percaya diri) yaitu mempunyai perasaan yang teguh pada pendiriannya, tabah apabila menghadapi masalah, kreatif dalam mencari jalan keluar dan ambisi dalam mencapai sesuatu. Ia juga perlu diajarkan untuk mempunyai self respect (hormat pada diri sendiri), yaitu mempunyai perasaan yang konstruktif, hormat pada orang lain, dan bersyukur pada apa yang dimilikinya.
Berbagai cara dapat diupayakan untuk menumbuhkan rasa percaya diri serta rasa hormat diri pada anak ini oleh orang tua. Diantaranya adalah dengan mendorongnya untuk selalu berupaya, menerima kelebihan dan kekurangannya, dan memberikannya pujian dan hadiah pada perilakunya yang mengarah pada rasa percaya diri dan rasa hormat dirinya tersebut.
Menurut Papalia & Olds (1993), ada beberapa karakteristik orang tua yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan harga diri anak. Menurut mereka, orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan yang realistik akan meningkatkan harga diri anak, sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang jelas dan konsisten akan menurunkan tingkat harga diri anak.
Sayangnya, banyak orang tua yang merasa bangga bahwa dirinya perfeksionis apabila berhadapan dengan anak, seolah-olah ia bertindak secara lebih baik daripada orang lain. Disamping itu, juga sangat banyak kita melihat orang tua yang sangat gemar mengkritik anak, walaupun dirinya juga jauh dari sempurna. Juga banyak sekali orang tua yang terlalu melindungi anak, memanjakannya dengan berlimpah mainan dan hadiah dari ponsel, Ipod, sampai Play Station yang canggih2. Namun juga tidak jarang kita melihat orang tua yang mengabaikan anaknya, terlalu sibuk dengan urusan sendiri, dan tidak memberikan arahan-arahan yang jelas kepada anak sehingga anak bingung apa yang seharusnya dilakukannya.
Hal ini semua berkaitan dengan pola asuh orang tua.
Pola Asuh Orang Tua.
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negative maupun positif.
Menurut Baumrind (1967), terdapat 4 macam pola asuh orang tua:
1.Pola asuh Demokratis
2.Pola asuh Otoriter
3.Pola asuh Permisif
4.Pola asuh Penelantar.
Pola asuh Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
Pola asuh tipe yang terakhir adalah tipe Penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.
Dari penjelasan tentang pola-asuh-pola asuh orang tua tersebut di atas, jelaslah bahwa tipe yang paling baik adalah tipe pola asuh Demokratis. Sedangkan pola asuh otoriter, permisif dan penelantar hanya akan memberikan dampak buruk pada anak.
Karakteristik-karakteristik Anak dalam kaitannya dengan pola asuh orang tua.
Apa kira-kira dampak pola asuh tersebut pada anak? Berikut adalah karakteristik-karakteristik anak dengan pola-pola asuh tersebut di atas.
1.Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain.
2.Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
3.Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.
4.Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, Self Esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.
Nah termasuk yang manakah anak-anak kita? Dari karakteristik-karakteristik tersebut di atas, kita dapat mawas diri, kita masuk dalam kategori pola asuh yang mana. Dan apabila kita memahami pola asuh yang mana yang cenderung kita terapkan, sadar atau tidak sadar, maka kita dapat segera merubahnya.
Juga bisa kita lihat, bahwa harga diri anak yang rendah terutama adalah disebabkan karena pola asuh orang tua yang penelantar. Maka, wahai orang tua sibuk masa kini, mulailah berbenah diri. Sadari bahwa pola asuh kita menentukan bagaimana bentuk pribadi anak kita di masa yang akan datang.
Semoga artikel ini berguna bagi kita semua.
Jakarta, 28 April 2006
* Penulis adalah Psikolog Klinis di LPT UI (Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia), dan di Klinik pribadi di Jl. Ciomas II no 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan & Jl. Kemang Timur XI/9B, Kemang, Jakarta Selatan. Penulis juga Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Juga Penulis Buku: “It Takes Only One To Stop The Tango, Menyelamatkan Perkawinan Seorang Diri”, 2005, Penerbit: Kawan Pustaka, Jakarta. Buku ini menjadi Top Demand untuk kategori Indonesian Title versi Kinokuniya, Maret 2006.
Konsep Diri
Oleh Jacinta F. Rini
Team e-psikologi
Jakarta, 16 Mei 2002
Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, seringkali dan bahkan hampir semua, sebenarnya berasal dari dalam diri. Mereka tanpa sadar menciptakan mata rantai masalah yang berakar dari problem konsep diri. Dengan kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai yang macam-macam terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain – dan bahkan meyakini persepsinya yang belum tentu obyektif. Dari situlah muncul problem seperti inferioritas, kurang percaya diri, dan hobi mengkritik diri sendiri. Artikel berikut akan mengulas tentang konsep diri, apa dan bagaimana konsep diri berpengaruh terhadap munculnya problem yang dialami manusia sehari-hari.
Konsep Diri
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.
Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.
Proses Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.
Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.
Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang, seperti :
Pola asuh orang tua
Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.
Kegagalan
Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.
Depresi
Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.
Kritik internal
Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
Merubah Konsep Diri
Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dengan berpikir yang tidak-tidak terhadap suatu keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis, konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif :
Bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri
Jangan abaikan pengalaman positif atau pun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t be all things to all people, you can’t do all things at once, you just do the best you could in every way....
Hargailah diri sendiri
Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif? Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa menghargai diri kita ?
Jangan memusuhi diri sendiri
Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif konsep dirinya.
Berpikir positif dan rasional
We are what we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts, we make the world (The Buddha). Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi, kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga. (jp)
From http://www.e-psikologi.com/dewasa/160502.htm
Publikasi : 28-04-2006 @ 18:06
Efek Negatif Akibat Memanjakan Anak
Penulis : Hani Hadiani
KotaSantri.com : Ada sebuah peribahasa The Child is Father of The Man atau anak adalah ayah dari lelaki. Jika dimaknai, maksud dari peribahasa itu ialah anak yang dimanjakan oleh orangtuanya. Peribahasa di atas sudah menjadi fenomena sejak zaman dahulu kala. Para orangtua umumnya bersikap memanjakan anak-anak mereka. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa anak berkedudukan seperti raja di dalam sebuah keluarga. Tidak peduli keluarga itu keluarga kaya, keluarga menengah, keluarga sederhana, bahkan keluarga miskin sekalipun.
Anak kerap dinomorsatukan secara pelayanan, dipenuhi segala kebutuhannya, bagaimana pun caranya. Nyaris setiap orangtua selalu berusaha menjawab (memenuhi) segala keinginan anak-anak mereka. Anak memang segala-galanya bagi orangtua. Kehadiran anak dijadikan mitos sebagai pembawa rezeki dan kebahagiaan dalam keluarga. Kepada anak orangtua menaruh harapan-harapan, agar anak kelak memberikan kebanggaan dan kebahagiaan. Harapan orangtua, anak dapat hidup lebih baik dari diri mereka secara moril dan materil. Maka tak jarang orangtua yang menjadikan anak mereka asset keluarga. Orangtua yang terlalu berharap berlebihan kepada anaknya sesungguhnya telah membebani hidup anak, sebab anak akan merasa terpasung dalam menentukan sikap sesuai dengan keinginannya (niat dan bakatnya).
Atas hal itu, orangtua pun mempunyai cara-cara tersendiri dalam merawat, menjaga, dan mendidik anak-anak mereka. Demi mencapai harapan-harapan mereka, seringkali cara mendidik yang dilakukan orangtua kurang tepat. Masalah utamanya karena orangtua kurang memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai dalam mendidik putera puterinya.
Ada tipe orangtua yang karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang anak, bersikap lunak dengan memperturutkan semua keinginan anak. Mereka tidak mau untuk mengatakan 'tidak' pada anak. Anak terbiasa tanpa kesulitan atau hambatan apapun untuk mendapatkan keinginannya. Jika butuh sesuatu tinggal mengatakannya pada orangtua. Anak tidak terbiasa dengan ujian.
Ada pula orangtua yang tidak memperbolehkan anak melakukan jenis pekerjaan rumah. Seperti merapikan tempat tidurnya dan membereskan mainannya. Tentu saja hal ini menjadikan anak tidak terampil karena tidak terbiasa dilatih di rumah. Padahal dengan bekerja, anak dapat mengenal rasa lelah dan menghargai waktu istirahatnya. Pekerjaan di dalam rumah merupakan ajang latihan agar mampu bekerja dan bertanggungjawab dengan pekerjaannya kelak.
Amat keliru orangtua yang menganggap bahwa dengan memberikan tugas-tugas atau meminta anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga merupakan pemberian beban pada anak. Padahal mengikutsertakan anak dalam bekerja di dalam rumah merupakan suatu bentuk pengakuan yang memang dicari anak. Anak justru akan merasa diakui, dihargai, memiliki manfaat bagi orang lain.
Ada beberapa hal yang patut ditanamkan bagi anak, yaitu sikap membantu, mampu kerja sama, dermawan, suka menolong dan bertanggung jawab. Bahkan orangtua dapat juga mendidik mental dan spiritual anak mereka, bukan hanya secara motorik. Tak ada salahnya orangtua mengajak anaknya untuk memikirkan dan memahami tentang berbagai hal, seperti perihal keluarga, tetangga, lingkungan sekitar yang terkena musibah, agama, atau kondisi bangsa dan negara. Dengan sikap seperti itu berarti orangtua telah mendidik anak untuk menjadi insan yang peka terhadap permasalahan, memiliki sikap respek terhadap diri dan lingkungannya.
Pada umumnya anak-anak bersikap manja pada orang dewasa terutama pada orangtua mereka. Namun, hendaknya sikap-sikap itu diatasi dengan mengarahkan dan melatih agar sikap tersebut tidak mendominasi dalam diri anak. Seiring pertambahan usia yang semula kanak-kanak akan tumbuh menjadi remaja, kemudian menjadi manusia dewasa yang nota bene mau tidak mau harus sudah memiliki sikap tanggung jawab terhadap kehidupannya. Jika sikap manja dipertahankan hingga usia menjelang dewasa, tentu hal tersebut akan membawa dampak kurang baik.
Anak manja akan cenderung bermasalah dibandingkan dengan anak yang tidak manja atau terlatih mandiri. Anak manja kerap mempunyai sikap tidak siap menghadapi peraturan-peraturan di lingkungannya dan tidak peduli dengan tanggung jawab sosial. Misalnya di lingkungan sekolah, saat guru memberikan tugas, anak tersebut akan merasa terbebani, bahkan tidak sedikit yang menolak tugas. Hal ini terjadi karena ia tidak biasa disusahkan, tidak peka dengan lingkungannya. Ia lebih terbiasa dibebaskan dari tugas-tugas, biasa dinomorsatukan, dan biasa dibantu.
Pada akhirnya anak manja jadi cenderung untuk bersikap licik, mementingkan dirinya saja, tidak menghargai kepentingan orang lain, tidak sabar terhadap sesuatu, mudah rapuh dan putus asa, sulit untuk mandiri, dan lebih banyak menuntut hak-hak mereka. Mereka juga akan mengalami kesulitan dalam bergaul.
Menghadapi kenyataan ini, orangtua ataupun guru masih dapat mengatasinya dengan mengajak berbicara secara terbuka, memberikan contoh-contoh kehidupan, memberikan wawasan untuk bergaul di masyarakat dengan semestinya. Lalu berikan pendidikan dan pelatihan yang memadai guna membentuk sikap-sikap yang baik pada diri anak. Tidak membiarkan anak bersikap yang salah merupakan tugas utama orangtua, namun tidak cukup dengan kata-kata, melainkan dengan contoh secara langsung. Anak-anak umunya bosan dinasehati, bosan dimarahi, bosan mendengarkan larangan-larangan. Cara yang efektif untuk mengatasinya yaitu dengan contoh nyata. Anak lebih cenderung untuk meniru yang dilihatnya dari pada yang didengarnya. Sesungguhnya niat dan sikap orangtua terhadap anak akan membentuk sifat dan sikap yang identik di dalam diri anak-anak. [Swadaya-43] from http://www.kotasantri.com/bilik.php?aksi=Cetak&sid=414
http://www.bppsdmk.depkes.go.id/?show=detailnews&kode=97&tbl=infobadan
Membangun Rasa Percaya Diri
Bppsdmk, Jakarta - Membangun Rasa Percaya Diri
Hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan diri dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut. Hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu terlebih ketika dihadapkan pada tantangan ataupun situasi baru. Menyikapi kondisi seperti ini, maka akan muncul pertanyaan: mengapa rasa percaya diri (self confidence) begitu penting dalam-kehidupan individu, lalu apakah kurangnya rasa percaya diri diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal. Jika memasng rasa kurang pencaya diri dapat diperbaiki, maka langkah-langkah apa yang harus dilakukan.
Sebelum menuju kepada rasa percaya diri perlu pula diketahui tentang perlunya harga diri ( self esteem), karena pada hakikatnya sumber dan tumbuhnya rasa percaya diri adalah berawal dari terbangunnya sikap self esteem (harga diri). Bahkan ciri-ciri bahwa seseorang mempunyai harga diri (self esteem) yang kuat itu salah satunya bahwa seseorang mempunyai self confidence (percaya diri). Perbedaan antara self esteem dengan self confidence adalah kalau sudah mempunyai self esteem berarti sudah pula memiliki self confidence, akan tetapi walau sudah memiliki self confidence belum tentu memiliki self esteem
HARGA DIRI/ JATI DIRI (SELF ESTEEM)
Harga diri adalah hal menyukai diri. ini bukannya suatu kesombongan atau keangkuhan sebagaimana orang tersinggung ?harga dirinya?, tapi pencaya diri dan tindakan diri sendiri atau nilai-nilai standar yang kita berikan pada diri sendiri tentang emosi, fisikal (jasmaniah) dan spiritual (rohaniah) atau lebih lengkapnya harga diri adalah perasaan, perilaku dan mengetahui bahwa individu berhak untuk memilih apa yang dikehendaki sebagian dari kehidupannya dan mengambil sikap untuk melakukan tindakan yang dipilih diberbagai area kehidupan individu yang akan membuat perasaan tentang diri sendiri menjadi lebih baik dan lebih percaya diri. Self esteem ini adalah sebuah keterampilan yang dapat dipelajari dan dilatih oleh siapapun seperti halnya mempelajari banyak hal dalam kehidupan ini.
K a t a kunci yang harus selalu diingat adalah bahwa self esteem ini adalah sebuah keterampilan, bukan sesuatu yang diketahui sejak lahir Harga diri itu penting karena didalam setiap budaya ada taraf dasar harga diri yang diperlukan Harga diri membantu orang merasa mampu mengembangkan keterampilannya dan berguna bagi masyarakat. Penelitian menyatakan bahwa orang perlu akan harga diri yang kuat agar merasa yakin berbuat sesuatu dan menggunakan kemampuan serta bakatnya sebaik-baiknya. Harga diri yang rendah bisa berkaitan dengan kesehatan seperti stress, sakit jantung dan bertambahnya ulah ?nakal?.
Self esteem ditinjau dari kondisinya dibedakan dalam dua kondisi, yaitu strong (kuat) dan weak (lemah). Orang yang mempunyai self esteem yang kuat akan mampu membina relasi yang baik dan sehat dengan orang lain, bersikap sopan dan menjadikan dirinya menjadi orang yang berhasil. Ciri-cini orang yang memiliki self esteem yang kuat adalah:
1.Self Confidence (percaya diri),
yaitu menghadapi segala sesuatu dengan penuh percaya diri dan tidak mudah putus asa.
2.Goal Oriented (mengacu hasil akhir),
yaitu ketika ingin melaksanakan sesuatu selalu memikirkan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai tujuannya itu dengan memikirkan segala konsekuensi yang diperkirakan akan muncul serta memikirkan alternatif lainnya untuk mencapai tujuan tersebut,
3.Apreciative (menghargai),
yaitu merasa cukup dan selalu bisa menghargai yang ada disekelilingnya serta dapat membagi kesenangannya dengan orang lain,
4.Contented (puas/ senang),
yaitu bisa menerima dirinya apa adanya dengan segala kelemahan dan kelebihannya serta mempunyai toleransi yang tinggi atas kelemahan orang lain dan mau belajar dari orang lain.
Sebaliknya individu yang memiliki self esteem yang lemah memiliki citra diri negatif dan konsep diri yang buruk. Semuanya akan menjadi penghalang kemampuannya sendiri dalam membentuk satu hubungan antar individu agar nyaman dan baik untuk dirinya. Bahkan seringkali menghukum dirinya sendiri atas ketidakmampuannya dan terlarut dalam penyesalan. Penghargaan diri yang rendah juga akan memicu seseorang untuk melakukan dua sikap ekstrim yang merugikan, yaitu sikap pasif dan agresif. Sikap pasif yaitu sikap yang tidak tegas dalam melakukan berbagai tindakan akibat adanya rasa takut membuat orang lain tersinggung, merasa diperintah atau digurui yang membuat diri menjadi benci dan merasa dikucilkan. Sikap agresif dalam hal ini yaitu memaksakan gagasan, tidak mau menerima masukan dari orang lain dan cenderung mengundang perdebatan daripada menyelesaikan masalah, padahal sikap menentang dan mengabaikan ide-ide orang lain berarti menghambat tercapainya keputusan yang tepat dan akurat. Adapun ciri-ciri orang yang memiliki self esteem yang lemah, adalah:
1.Critical (selalu mencela), yaitu biasanya selalu mencela orang lain, banyak keinginannya dan seringkali tidak terpenuhi, senang memperbesar masalah-masalah kecil dan seringkali tidak mau mengakui kekurangannya,
2.Self centred (mementingkan diri sendiri), yaitu biasanya egois, tidak peduli dengan kebutuhan orang lain atau perasaan orang lain, segala sesuatunya berpusat pada dirinya sendiri, tidak ada tenggang rasa dengan lainnya yang akhirnya berakibat bisa menjadi frustasi. Perilaku ini akan menjauhkan dirinya dan orang-orang disekelilingnya,
3.Cynical (sinis/suka mengolok-olok), yaitu senang meledek orang lain dengan omongan yang sinis, sering mensalahartikan pemikiran, kegiatan, kebaikan serta niat baik orang lain sehingga orang lain juga tidak senang padanya,
4.Diffident (malu-malu), yaitu menyangkal atas semua kelemahannya, tidak pernah bisa membuktikan kelebihannya dan seringkali gagal dalam melakukan sesuatu. Hal-hal serta kesalahan kecil seringkali diperhitungkan terlalu serius dan dilihat sebagai bukti ketidakmampuan dirinya. Walaupun memiliki bakat dan kemampuan seperti orang lain, tapi gagal untuk bisa memperlihatkan tanggung jawabnya dan juga gagal dalam memanfaatkan kelebihannya karena sudah membayangkan kegagalan yang ada dihadapannya.
Kiat Membangun dan Mengembangkan Self Esteem
Ada enam faktor yang dapat mendukung untuk membangun self esteem yang biasanya disingkat dengan G-R-O-W-T-H, yaitu:
1.Goal setting (merencanakan tujuan), yaitu menentukan tujuan hidup;
2.Risk taking (mengambil resiko), yaitu berani untuk mengambil resiko kerena seseorang tidak akan pernah mengetahui kemampuan dir sendiri jika tidak mau mengambil resiko;
3.Opening up (membuka diri), yaitu kalau seseorang mau membuka diri dan berbagi rasa (sharing) dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali dirinya sendiri;
4.wise-choice making (membuat keputusan yang bijaksana), yaitu kalau seseorang biasa membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self confidence dan self esteem;
5.Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu), yaitu jangan terlalu memberikan tekanan/ paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung dan
6.Healing (penyembuhan), yaitu penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan thankful (rasa syukur).
Self esteem adalah suatu kualitas yang dapat ditingkatkan pada setiap saat dalam kehidupan manusia dan tidak terikat oleh umum, pendidikan dan status sosial. Membangun self esteem adalah suatu proses yang memerlukan waktu dan membutuhkan kesabanan serta ketekunan, walaupun perjuangan untuk membangun self esteem itu tidak mudah tetapi pantas untuk tetap dilakukan karena hasilnya bisa dinikmati untuk selamanya.
Cara-cana/ Iangkah untuk meningkatkan Self Esteem
Adapun cara-cara/ langkah untuk meningkatkan self esteem adalah:
1.Memberikan positive stroke (sentuhan positif) pada orang lain, yaitu menghargai orang lain walaupun terhadap hal-hal yang kecil dengan sentuhan dan kata-kata yang diungkapkan secara spesifik serta ekspresi wajah. Sentuhan positif dapat membantu meningkatkan dan memperkuat self esteem bagi sipenerima dan pemberi sentuhan positif tersebut. Memberikan sentuhan positif adalah cara untuk memberikan penghargaan yang sehat kepada orang lain. Bila kita memperlakukan orang lain dengan hormat dan penuh kasih sayang, harga dir kita secara tidak langsung ikut terbawa menjadi lebih kuat lagi. Adapun cara memberikan sentuhan positif adalah dengan memandang langsung mata orang yang diberikan sentuhan positif untuk menunjukkan keseriusan dan perhatian seseorang serta berkata dengan menggunakan kata-kata yang lebih jelas, lebih spesifik, hangat dan nada suara yang baik;
2.Tidak memberikan plastic stroke (sentuhan palsu/basa-basi) pada orang lain, penghar gaan yang diberikan pada orang hanyalah merupakan basa-basi, dianggap tidak ada artinya sama sekali sehingga membuat orang lain merasa tidak nyaman. Puji-pujian yang berlebihan atau tidak tulus dimasukkan sebagai kategori sentuhan palsu yang tidak berharga dan tidak akan meningkatkan self esteem baik pemberi maupun penerimanya,
3.Harus bisa menerima dan belajar untuk menerima positive stroke yang diberikan oleh orang lain,
4.Menolak plastic stroke dengan halus dan tanpa pamrih,
5.Bersungguh-sungguh menetapi apa yang sedang kita usahakan, sebab tidaklah akan bernilai kalau tidak disertai usaha yang gigih dan sungguh-sungguh,
6.Berdoa serta meminta pertolongan hanya kepada Allah Azza Wa Jalla.
Yang perlu dipahami bahwa kondisi self esteem seseorang tidaklah selalu dalam posisi strong atau selalu weak Self esteem dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi, kondisi diri dan lingkungan yang dihadapinya.
KEPERCAYAAN DIRI
Percaya diri adalah keberanian diri yang datang dari kepastian tentang. kemampuan, nilai-nilai dan tujuan dari kita, atau bisa juga didefinisikan sebagai sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/ situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri. Rasa percaya diri yang kuat sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dan kehidupan individu tersebut dimana seseorang memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa seseorang bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Banyak ahli menilai bahwa percaya diri merupakan faktor penting yang menimbulkan perbedaan besar antara sukses dan gagal.
Karakteristik atau Ciri-ciri Individu yang Percaya Diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah:
1.Percaya akan kompetensi/ kemampuan diri hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan ataupun penghormatan orang lain,
2.Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis (mengorbankan hal-hal yang prinsip) demi diterima oleh orang lain atau kelompok,
3.Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain (tidakjatuh mental), berani menjadi diri sendiri,
4.Punya pengendalian diri yang baik tidak moodydan emosinya stabil,
5.Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan tergantung dan usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/ mengharapkan bantuan orang lain),
6.Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinya,
7.Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri sehingga ketika harapan itu tidak terwujud seseorang tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Karakteristik atau Ciri-ciri Individu yang Kurang Percaya Diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:
1.Berusaha menunjukkan sikap konformis semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok,
2.Menyimpan rasa takut/ kekhawatiran terhadap penolakan,
3.Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan diri) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri namun dilain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri,
4.pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif,
5.Takut gagal sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil,
6.Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus karena undervalue (menilai rendah) diri sendiri,
7.Selalu menempatkan dan memposisikan diri sebagai yang terakhir karena menilai dirinya tidak mampu dan takut,
8.Mempunyai external locus of control(mudah menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain).
Perkembangan Rasa Percaya Diri
Pola Asuh (Lingkungan Keluarga)
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri sebagaimana harga diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini dalam kehidupan bersama orang tua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi diusia dini merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orang tua akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orang tua yang menunjukkan perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak akan membangkitkan rasa pencaya diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai dimata orang tuanya dan meskipun melakukan kesalahan, dan sikap orang tua anak tersebut melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksistensinya (keberadaannya). Anak tersebut dikemudian hari akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri seperti orang tuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
Lain halnya dengan orang tua yang kurang memberikan perhatian perkembangan jiwa pada anak atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang telah dicapai oleh anak ataupun seolah-olah menunjukkan ketidak pencayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orang tua menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri, segala sesuatu disediakan dan dibantu orang tua. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orang tua. Anak akan merasa rendah diri dimata saudara kandungnya yang lain atau dihadapan teman-temannya.
Menurut para psikolog, orang tua dan masyarakat seringkali meletakkan standard dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak ataupun individu. Sikap suka membanding- bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak ataupun membicarakan kelebihan anak lain didepan anak sendiri tanpa sadar menjatuhkan diri anak-anak tersebut. Selain itu masyarakat tanpa sadar sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah ataupun penerimaan sosial
Pola Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat setiap individu mengalami berbagai masalah kejadian, seperti bertemu orang-orang baru dan lain sebagainya. Reaksi individu terhadap seseorang ataupun sebuah peristiwa amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah cenderung memandang segala sesuatu dari sisi negatif. Individu tidak menyadari bahwa dari dalam dirinyalah semua negativisme itu berasal. Pola pikir individu yang kurang percaya diri bercirikan, antara lain:
menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri, cara berpikir totalitas dan dualisme, pesimistik yang futuristik, tidak kritis dan selektif terhadap self criticism, mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, sulit menerima pujian ataupun hal-hal positif dan orang lain, suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri
Pengaruh Lingkungan Luar Keluarga
Ternyata sikap tidak percaya diri ini muncul selain akibat kebiasaan-kebiasaan seseorang mengembangkan sikap dan pendapat negatif tentang dirinya sendiri, sikap tidak percaya diri ini juga muncul sebagai akibat dan pengaruh Iingkungannya, antara lain sikap lingkungan yang membuat seseorang takut untuk mencoba, takut untuk berbuat salah, semua harus seperti yang sudah ditentukan. Karena ada rasa takut dimarahi, seseorang jadi malas untuk melakukan hal-hal yang berbeda dari orang kebanyakan.
Memupuk Rasa Percaya Diri Dan Sudut Pandang Psikologis
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dan dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri:
1.Evaluasi diri secara objektif,
2.Beri penghargaan yang jujur terhadap diri sendiri,
3.Positive thinking (husnudhon),
4.Gunakan self affirmation (penguatan diri),
5.Berani mengambil resiko,
6.Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan,
7.Menetapkan tujuan yang realistik,
8.Banyak berhubungan dengan kelompok orang-orang yang positif (punya rasa percaya dir kuat).
Rasa Percaya Diri dalam Dimensi Agama
Dalam agama Islam sebagaimana firman Allah yang tercantum pada QS At Tiin:4-8, QS Al Bayyinah:7 dan QS Al Israa?:70 bahwa Allah menciptakan manusia khususnya orang beriman, adalah dalam sebaik-baiknya makhluk dari semua makhluk yang diciptakan oleh Allah. Dengan dasar ayat-ayat tersebut diatas pada hakikatnya dimata Allah orang yang beriman adalah orang yang dimuliakan oleh Allah dan dinilaiNya sebagai makhluk yang terbaik. ini sebetulnya sudah cukup bagi orang yang beriman untuk tetap percaya diri dalam menghadapi permasalahan tanpa harus merasa rendah diri dan takut karena Allah sebagai Sang Pencipta semua makhluk dibumi ini mendudukkannya pada tempat yang mulia.
Sejelek apapun adanya kelemahan yang ada pada diri seseorang, manusia haruslah berkeyakinan bahwa masih banyak hal yang jauh lebih baik diberikan Allah bahkan mungkin melebihi makhluk Iainnya apabila manusia mau menggali potensi tersebut dan yang terpenting adalah janganlah seseorang hanyut terlalu dalam dengan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Selama manusia berpegang teguh pada keimanan, tidak ada alasan untuk merasa rendah diri bahkan jiwa rendah diri ini akan melemahkan perjuangan manusia yang justru dilarang oleh Allah karena sesungguhnya orang beriman dimuliakan oleh Allah.
Orang beriman tidak pantas merasa rendah diri dihadapan manusia, padahal Allah mencintainya. Jika itu terjadi sama dengan mengecilkan kecintaannya Allah, mengecilkan kebesaran Allah bahkan tidak takut dan tidak malu pada Allah tapi justru lebih takut dan malu pada sesama manusia. ini adalah pemahaman yang salah karena Iebih mempertimbangkan pendapat manusia daripada pandangan dan penilaian Allah. Dengan dasar itulah maka orang beriman seharusnya bersikap selalu merasa besar hati dalam menghadapi segala permasalahan, tidak takut dan penuh rasa percaya diri dalam berkarya, bertindak dan memperjuangkan agama Allah bahkan semuanya harus dilandasi dengan riang gembira karena apapun hasilnya, dimata Allah tetap mulia, tahan uji dan tidak mudah putus asa karena yakmn bahwa sebagai orang beniman akan selalu mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah, selalu berpikinan positif (husnudhon) dan menghindarkan diri dari prasangka negatif (su?udhon), selalu bersyukur terhadap nikmat Allah dan memanfaatkan nikmat tersebut apa adanya tanpa harus mengeluh terhadap apa yang tidak diterimanya karena semuanya adalah qadar dan Allah yang harus diterima dengan ridho sebagai ujian. Selalu berusaha memperbaiki diri sendiri dalam segala urusan dan selalu berbuat untuk kebaikan semuanya. Sikap-sikap tadi jika benar-benar diterapkan, sebetulnya merupakan cerminan untuk onang yang mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Nabi Muhammad sendiri mencontohkan betapa beliau sendirian akan tetapi karena semangat yang terus dipompakan oleh Allah melalui Malaikat Jibril telah membesarkan hati beliau untuk pantang menyerah dan tidak merasa rendah diri menghadapi para pembesar-pembesar Quraisy yang saat itu masih dalam kekafiran. Rasa percaya diri harus dilatih dan ditumbuhkan, sehingga manusia bangga akan diriiya sendiri (tidak sombong), dengan rakhmat dan nikmat Allah yang telah diberikan pada manusia..
Berita Lainnya:
Pengiriman Perawat Ke Kuwait
Pendaftaran KIPPI Jepang
Pengumuman Hasil Medical Check Up
Pengumuman Hasil Kelulusan Uji Kompetensi
PROGRAM PENEMPATAN PERAWAT INDONESIA KE JEPANG
http://209.85.175.104/search?q=cache:Uz2jksVy3goJ:www.garutkab.go.id/download_files/article/Perkembangan%2520Psikologi%2520Anak%2520Dalam%2520Kehidupan%2520Sosial.doc+psikologi+perkembangan&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id
Perkembangan Psikologi Anak Dalam Kehidupan Sosial
Perbedaan fase perkembangan status sosial di dunia anak-anak dalam persahabatan dan mendapatkan kawan bermain di lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah, berbeda dengan pengertian persahabatan yang terjadi pada orang dewasa, untuk orang dewasa persahabatan adalah suatu ikatan relasi dengan orang lain, di mana kepercayaan, pengertian, pengorbanan dan saling membantu satu sama lainnya akan terjalin dalam periode yang lama, sedangkan di dunia anak-anak tidak seperti halnya yang terjadi pada orang dewasa, di dunia anak-anak persahabatan terjalin tidak untuk waktu yang lama, terkadang bila terjadi masalah yang kecil saja, jalinan persahabatan tersebut akan terputus.
Ada dua metode penelitian untuk mengetahui arti persahabatan dan kawan bermain di dalam dunia anak-anak :
1. Dengan cara kita mengajukan beberapa pertanyaan, seperti ;
Siapa teman dekatmu ? kenapa dia ? apa yang kamu senangi dari dia ?
2. Dengan cara kita bercerita tentang persahabatan, kemudian kedua orang sahabat tersebut bertengkar karena mereka tidak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik.
Dari kedua metode tersebut, metode yang nomor dua kita akan banyak mendapatkan informasi, kemudian kita ajukan pertanyaan kepada anak ; Harus bagaimanakah situasi itu diselesaikan ?
Dari banyak informasi yang diberikan anak tersebut, kita akan mendapatkan kesimpulan yang kita bagi dalam beberapa fase, seperti ;
Fase Pertama ;
- Teman untuk bermain
Teman bermain untuk usia anak antara 5 sampai 7 tahun.
Bagi mereka, teman adalah seseorang yang mempunyai mainan yang menarik yang tempat tinggalnya dekat di sekitar mereka, dan mereka mempunyai ketertarikkan yang sama.
Kepribadian dari teman tersebut tidak menjadi masalah, yang terpenting bagi mereka adalah kegiatan dan mainan apa yang mereka miliki, persahabatan mereka akan terputus apabila salah seorang dari anak tersebut tidak mau bermain lagi dengan anak lainnya karena kejenuhan dan kebosanan, persahabatan mereka akan secepat mungkin terputus dan terbina kembali begitu saja.
Contoh percakapan yang sering kita temui pada anak-anak usia 5 sampai 7 tahun, antara lain mengenai berbagi makanan, misalnya ;
“Kalau kamu memberi saya coklat, kamu temanku lagi”
Dalam usia ini mereka dengan gampangnya mengatakan tentang berteman, biasanya percakapan mereka dimulai dengan perkataan “namamu siapa ? dan namaku......” dan mereka bisa begitu saja berteman setelah saling mengetahui nama masing-masing.
Fase Kedua
- Teman untuk bersama
Teman bermain dan membangun kepercayaan, untuk usia anak antara 8 sampai 10 tahun.
Dalam usia mereka ini, pengertian teman sedikit lebih luas dari pada fase pertama, karena arti teman bagi mereka sudah melangkah ke perasaan saling percaya, saling membutuhkan dan saling mengunjungi.
Dalam fase ini seorang anak untuk mendapatkan teman tidak segampang anak pada fase pertama, karena mereka harus ada kemauan berteman dari kedua belah pihak.
Mereka tidak akan mau berteman lagi setelah di antara mereka timbul masalah, seperti ;
- Salah seorang di antara mereka ada yang melanggar janji ;
- Salah seorang di antara mereka ada yang terkena gosip ;
- Salah seorang di antara mereka tidak mau membantu, disaat temannya tersebut
membutuhkan pertolongan.
Percakapan yang sering kita temui pada fase kedua ini, misalnya ;
“Kenapa kamu pilih dia sebagai temanmu ?”
Dalam fase ini, seorang anak tidak mudah menjalin persahabatan, biasanya persahabatan tersebut terjadi setelah beberapa saat mereka saling mengenal baik baru mereka akan menjalinnya, kadang persahabatan mereka bisa sampai usia dewasa, kadang juga terputus tergantung factor apa yang terjadi selama persahabatan mereka.
Fase Ketiga
- Persahabatan yang penuh dengan saling pengertian
Terjadi pada anak usia 11 sampai 15 tahun, bagi mereka arti teman tidak hanya sekedar untuk bermain saja, di sini seorang teman harus juga bisa berfungsi sebagai tempat berbagi pikiran, perasaan dan pengertian.
Pada fase ini persahabatan memasuki stadium yang sangat pribadi, karena pada umumnya mereka sedang mengalami masa puber dengan permasalahan psikologis seperti ; depresi, rasa takut, problem di rumah, atau problem keuangan yang terjadi pada mereka, biasanya mereka lebih tahu permasalahan psikologis tersebut dibandingkan dengan orang tua mereka sendiri.
Persahabatan pada fase ini bisa berubah seiring dengan berjalannya usia mereka, dari sekedar teman bermain, kemudian berkembang menjadi teman berbagi kepercayaan dan teman berbagi emosi.
Persahabatan tersebut biasanya terputus karena salah seorang dari mereka pindah rumah atau
melanjutkan sekolah di kota lain.
Percakapan di antara mereka yang sering kita dengar pada fase ini, misalnya ;
“Kita butuh teman yang baik, karena kita bisa berbagi ceritera di mana orang lain tidak perlu tahu, teman yang baik akan memberi nasihat atau jalan keluar yang terbaik”
Pentingnya Persahabatan Untuk Perkembangan Sosial Anak-Anak
- Populer atau Tidak Populer dan Apa Akibatnya
Di dalam lingkungan sekolah dasar, biasanya ada anak yang populer dan tidak populer, baik anak tersebut lebih menonjol karena kepintaranya atau pun karena hal yang lainnya.
Mereka mendapat perhatian lebih, seperti selalu diundang dan hadir di pesta ulang tahun temannya sedangkan yang tidak populer tidak pernah diundang.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan sosial anak populer dan tidak populer di dalam kelas, seorang guru atau kita, dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka,
seperti ;
- Dengan siapa kamu mau pergi tamasya ?
- Dengan siapa kamu mau duduk ?
Ternyata anak populer lebih banyak disebut dan anak tidak populer jarang atau sama sekali tidak disebut.
Untuk lebih mengetahui anak populer dan tidak populer, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikembangkan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan negatif dan pertanyaan-pertanyaan positif.
Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita bisa lebih cepat mengetahui mana anak populer dan mana anak yang tidak populer dan juga kita bisa lebih cepat mengetahui serta membantu mengatasi problem si anak pada stadium yang masih belum terlalu jauh.
Dengan cara tersebut, pada akhirnya kita bisa membedakan perkembangan anak-anak secara berurutan, seperti ;
1. Anak-anak yang menyandang bintang sosiometris
Bintang sosiometris, artinya mereka paling banyak disebut sisi positifnya dari pada sisi
negatifnya, biasanya mereka disenangi dan diakui oleh teman-temannya sedikit dari mereka yang menyandang bintang sosiometris ini merasa terasingkan.
2. Anak-anak yang biasa
Biasanya mereka tidak begitu populer dibandingkan dengan bintang sosiometris, tetapi mereka lebih banyak disebut sisi positifnya dan sedikit disebut sisi negatifnya.
3. Anak-anak yang terisolir
Biasanya mereka tidak disebut sisi positifnya dan juga tidak disebut sisi negatifnya, sepertinya anak terisolir tersebut tidak terlihat oleh teman-temannya.
4. Anak-anak yang terasingkan
Biasanya mereka oleh anak-anak yang lain diasingkan dan tidak diakui sebagai teman, mereka biasanya sedikit sekali disebut sisi positifnya dan lebih banyak disebut sisi negatifnya.
Dari urutan-urutan di atas, kita sebagai orang tua harus cepat tanggap dan tidak ragu untuk bertanya kepada guru di sekolah, bagaimana perkembangan psikologi anak di lingkungan sekolah, hal tersebut dilakukan untuk membandingkan perkembangan psikologi anak di lingkungan rumah dan di lingkungan sekolah, supaya kita dapat secepatnya menelusuri dan mengetahui apakah anak kita mempunyai masalah dalam dirinya yang tidak berani diungkapkan kepada kita sebagai orang tuanya dan kita bisa dengan cepat menangani serta membantu memecahkan masalah si anak tersebut, sebelum masalah anak tersebut terlanjur merubah sifat dan karekter si anak.
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dalam status sosial anak
1. Cara orang tua mendidik dan membina anak
Orang tua yang mendidik anak dengan cara bertahap dalam menjelaskan sesuatu hal, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, biasanya anak-anak mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mereka akan mudah dalam mengembangkan hubungan sosialnya.
Lain halnya dengan anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang secara penuh dan mereka dididik oleh orang tuanya dengan cara kasar serta mendapatkan peristiwa yang membuat anak tersebut trauma, maka kita bisa dengan jelas melihat perbedaan yang mencolok, biasanya anak tersebut sulit dikendalikan dan memiliki masalah, mereka tidak akan mudah membina hubungan sosial dan sulit membina persahabatan dengan anak lainnya.
2. Urutan kelahiran
Urutan kelahiran, mempengaruhi juga dalam status sosial anak, karena biasanya anak yang paling muda lebih populer dan terbiasa dengan negoisasi dari pada saudara-saudaranya.
3. Kecakapan dan keterampilan mengambil peran
Biasanya anak-anak populer memiliki kecakapan dan keterampilan dalam mengambil apa pun posisi peran dan posisi peran tersebut dapat berkembang menjadi lebih baik.
Anak-anak populer biasanya memiliki intellegensi/kecerdasan yang baik.
Dengan memiliki ciri-ciri tersebut, anak-anak populer lebih mudah menempatkan dirinya atau beradaptasi dilingkungan yang asing.
4. Nama
Ternyata di lingkungan anak-anak, nama dapat membawa pengaruh.
Nama yang dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal, dapat membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial psikologi anak. karena anak-anak masih sangat kongkrit dalam menyatakan sesuatu hal, akibatnya anak tersebut merasa rendah diri dan tersudut apabila anak-anak yang lain mencemoohkan karena namanya dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal.
5 Daya tarik
Anak-anak yang memiliki daya tarik tersendiri, biasanya selalu populer daripada anak yang kurang memiliki daya tarik.
Anak-anak yang berumur 3 tahun, sudah bisa membedakan mana anak-anak yang menarik dan mana anak-anak yang kurang menarik, reaksi ketertarikkannya hampir sama dengan orang dewasa.
Pada anak usia 3 tahun, anak yang menarik dan anak tidak menarik tidak begitu kelihatan mencolok, tetapi pada anak usia 5 tahun, hal tersebut dapat terlihat sangat jelas, anak usia 5 tahun yang tidak menarik biasanya lebih agresif dan sering tidak jujur dalam bermain, sedangkan pada anak usia 5 tahun yang memiliki daya tarik, biasanya mereka sering diberi masukkan-masukkan yang positif dari sekitarnya sehingga tumbuh rasa percaya diri yang lebih tinggi, sabaliknya pada anak usia 5 tahun yang tidak menarik rasa percaya dirinya berkurang karena terpengaruh masukkan-masukkan yang negatif dari lingkungannya.
6. Perilaku
Tidak semua anak yang menarik menjadi populer karena masih banyak faktor lainnya yang bisa mempengaruhi katagori populer.
Perilaku yang membuat anak populer, antara lain ; ramah tamah, mempunyai rasa simpati, tidak agresif, bisa berkerja sama, suka menolong, suka memberikan masukkan atau komentar yang positif, dan lain-lain.
Secara umum faktor-faktor di atas terdapat pada anak-anak yang populer, dan factor-faktor tersebut dapat menentukan status sosial anak, tetapi tidak selamanya anak populer pada nantinya dapat menentukan status sosial, sebagian anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang selalu terjaga pendidikannya, intellegensinya, cakap dan terampil, mempunyai nama yang baik serta menarik tetapi tidak popular, sebagian lagi ada juga anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang bermasalah, kurang perhatian dari orang tua, mempunyai nama yang kurang bagus, dan tidak memiliki daya tarik, tetapi bisa juga menjadi populer.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang kurang dihargai seperti ; Anak-anak yang terisolir dan Anak-anak yang terasingkan.
Kelompok anak-anak tersebut memiliki nilai yang rendah dari anak-anak seumurnya, akan tetapi anak-anak yang terisolir lebih mudah diakui dari pada anak-anak yang terasingkan, namun lama kelamaan anak-anak yang terasingkan akan diakui juga.
Anak-anak yang terasingkan memiliki resiko adaptasi lebih besar dalam usia menjelang dewasa, mereka menjadi terasingkan karena ada penyimpangan dari salah satu factor status sosial anak.
Jika anak-anak ini lemah dalam menghadapi ejekkan-ejekkan atau godaan dari anak-anak lainnya, maka hal tersebut dapat membentuk perilaku dan proses belajarnya akan terganggu.
Beberapa problem pada anak-anak yang terasingkan, antara lain ;
- secara terbuka mereka diasingkan
- sering terlibat dalam hal-hal kejadian interaksi yang negatif
- mempunyai masalah perilaku
- sering memperlihatkan perilaku agresif
- mempunyai status negatif yang stabil
- sering bermasalah di sekolah
Secara umum anak-anak yang terasingkan, berreaksi dengan dua cara :
1. Menarik diri
Biasanya mereka menarik diri dari kontak dengan yang lain, mereka sebetulnya ingin main dengan anak-anak lainnya, tetapi mereka diacuhkan dan diabaikan keberadaannya, malahan mereka mengejeknya seperti dengan sebutan “professor” karena anak tersebut memakai kacamata, maka dari itu mereka selalu menhindar dari anak-anak lainnya, di rumah biasanya mereka juga pendiam dan selama mungkin tinggal di kamarnya dengan membaca komik atau mendengarkan musik, kepada orang tuanya mereka beralasan tidak suka main di luar.
2. Perilaku anti sosial
Biasanya mereka sulit untuk diatur, padahal anak-anak lainnya tidak suka dengan perilakunya, misalnya ;
Pada saat anak-anak yang lain bermain bola, kemudian datang anak yang terasingkan, tetapi tidak untuk ikut bermain dengan anak-anak lainnya, anak tersebut datang hanya sekedar untuk mengganggu saja dengan mengambil bolanya, dan apabila ikut bermain bola pun anak itu akan tampil dengan kasar sehingga membuat anak-anak lainnya berhenti bermain, anak yang terasing itu akan marah-marah hingga akhirnya anak-anak yang lain terpaksa mengalah dan bermain bola kembali dengan aturan-aturan yang dikehendaki oleh anak yang terasing tadi.
Untuk anak-anak yang terasing ini di negara-negara yang sudah maju, seperti di Belanda, para orang tua dari anak tersebut akan mendapat laporan dari pengajar atau guru, kemudian mereka diberikan penyuluhan dan konsultasi dari Psikolog Anak yang ada di bawah Departemen Urusan Anak-anak Bermasalah, kemudian akan dikirim ke Departemen Kesehatan untuk gangguan jiwa yang tidak stabil untuk diberi pengarahan dan keterampilan sosial dalam cara menyesuaikan diri atau cara beradaptasi di lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah.
Untuk orang yang lebih dewasa, mereka diajarkan semacam therapy untuk beradaptasi dalam lingkungan masyarakat supaya akhirnya mereka bisa mandiri.
Sabtu lalu (8/12/2007), sekolah anakku mengadakan seminar. Temanya “Hubungan Pola Asuh dengan Perkembangan Emosi dan Intelegensi Anak”. Pembicaranya pak Mugito, psikolog yang menjadi konsuler di Citra Consulting.
Saya menjadi satu-satunya peserta pria di acara itu. Mayoritas peserta adalah ibu dari anak yang bersekolah di TK Al Muhajirin Pondok Pucung. Sebelumnya istriku sempat berdebat panjang denganku. Topiknya apa lagi kalau bukan peran Ayah dalam keluarga. Istriku merasa, peranku sebagai ayah masih kurang dan cenderung kontra-produktif. Khususnya di bidang kesehatan, pendidikan dan pola asuh.
Awal ceritanya, istriku kemarin sempat mengikuti seminar PESAT (Program Edukasi Kesehatan
Anak untuk Orangtua) III. Sebenarnya kami berdua sudah lama bergabung dalam milis sehat. Saya sendiri sudah cukup paham isu-isu seperti: rational use of drugs (khususnya antibiotik), polyfarmasi, imunisasi, grafik tumbuh kembang dan beberapa isu kesehatan lainnya. Saya pun sudah menerima solusi yang benar seputar masalah demam, panas, pilek dan gejala-gejala kesehatan lainnya. Tidak perlu buru-buru menggunakan obat, namun ada threatment yang bisa dilakukan di rumah sepanjang belum memasuki status darurat.
Sepulang dari seminar PESAT II (terima kasih dokter Wati dan dokter2 lainnya..), istriku segera menularkan ilmu yang didapat dari acara itu. Salah satunya tentang penggunaan disinfektan di dalam rumah. Kata dokter Wati, demikian istriku menyampaikan. Sebaiknya tidak menggunakan disinfektan di dalam rumah, karena sebenarnya di dalam rumah itu banyak bakteri baik. Dengan menggunakan disinfektan, justru akan didapat efek imun pada bakteri-bakteri jahat. Bisa dikatakan menggunakan disinfektan seperti pembersih lantai malah menciptakan bakteri-bakteri jahat yang lebih kuat.
Waktu itu saya nyeletuk iseng, “Kalau begitu bakteri baiknya juga bermutasi dong, menjadi lebih tahan dan lebih kuat setelah terkena disinfektan.” Karena istriku merasa tidak bisa mentransfer knowledge kepada suaminya, ia menganjurkan supaya saya ikut mendengar langsung dari ahlinya dalam acara-acara seminar selanjutnya.
“Aku memang nggak bisa menyampaikan apa yang kudapat dengan baik, karena itu kamu ikut aja sendiri acara-acara itu”, dalihnya. Jadilah saya mengikuti (sebisanya, menyesuaikan dengan waktu yang ada) untuk mengikuti acara-acara kesehatan, pendidikan dan pola asuh. Seperti pada hari Sabtu itu. Bahkan nanti dilanjut juga dengan seminar homeschooling di UI hari Jumat (14 Desember 2007) dan PESAT Tangerang Sesi IV di BSD 10 Januari 2008 (kalau masih dapat tempat).
Untung juga sih, ikut acara seperti ini. Saya yang memang dasarnya ingin tahu, jadi berkesempatan mendapat ilmu langsung dari ahlinya. Biasanya kalau cuma baca buku, penyakitnya ada dua. Tidak lengkap membaca karena waktu dan kesempatan yang terbatas. Dan penafsiran yang melenceng dari maksud si penulis.
Di seminar pola asuh ini, saya diajarkan menggunakan psikologi dalam pembentukan pola asuh yang tepat bagi anak. Karena psikologi adalah ilmu tentang jiwa yang tidak kasat mata, maka perlu ada indikator atau parameter (istilah yang tepat apa sih?) untuk meng-empiriskan fenomena kejiwaan. Pak Mugito menyebutkan tiga hal: sifat (nature), sikap (attitude) dan tingkah laku (habbits). Istilah bahasa inggrisnya, hasil saya nebak-nebak.
Kemudian, perlu dikenal adanya 4 jenis permasalahan pada anak yang berkaitan dengan pembentukan pola asuh. Yaitu:
1. Tidak taat aturan.
2. Kebiasaan Buruk.
3. Penyimpangan Perilaku.
4. Post-playing delay.
Tidak taat aturan contohnya suka berdiri di meja, makan menggunakan tangan kiri, sulit dikendalikan, dll. Kebiasaan buruk misalnya suka memukul, suka merebut, berkata kotor, dll. Contoh Penyimpangan Perilaku adalah anak masih ngompol pada saat seharusnya sudah bisa buang air sendiri (belum lulus toilet training), dll. Tiga permasalahan ini biasanya selalu ada pada anak-anak kita. Tiga permasalahan ini Jamak ditemui, namun pada umumnya tidak perlu dikhawatirkan. Hanya saja harus segera dicari solusinya secara mental.
Sedangkan permasalahan yang keempat adalah hilangnya masa bermain anak. Usia 0-6 pada anak adalah usia bermain. Di rentang usia inilah anak memuaskan diri bermain. Kalau pun ada pelajaran yang disampaikan, maka bentuknya adalah disisipkan dalam bentuk permainan. Gawatnya, kalau anak kehilangan masa bermain, maka anak dapat mengalami post-playing delay ini. Post-playing delay adalah timbulnya masa bermain di usia dewasa. Dicontohkan oleh pak Mugito di sini misalnya muncul saat usia SD, maka anak itu ketika di kelas akan kehilangan motivasi belajar. Maunya main terus. POst playing delay bisa juga muncul di usia SMA. Contoh yang diberikan: sudah SMA masih suka main gundu. Atau yang paling parah adalah munculnya post-playing delay ini di usia dewasa. Ciri-cirinya: suka berantem, suka mencari sensasi dan cari perhatian. Ini semua muncul karena di masa anak-anak, orang tersebut kehilangan masa bermainnya.
Dalam pembentukan pola asuh, ada 3 permasalahan yang terletak pada orang dewasa (orangtua), yaitu:
1. unexperienced syndrom. keadaan tanpa pengalaman menyebabkan orangtua tidak tahu harus berbuat apa dan tidak tahu menghadapi apa. Seperti yang dikutip dari seorang psikolog (celinoit), bahwa kelahiran seorang anak membawa dua sisi: kebahagiaan dan permasalahan. Jika orangtua tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi permasalahan yang dibawa oleh kehadiran anak.
2. unexpected action. Dalam menghadapi anak, terkadang ada tindakan orangtua yang tidak konsisten atau menyalahi keinginan sebenarnya. Misalnya: kita menyuapi anak tujuannya agar anak kelak mampu untuk makan sendiri. Namun dengan menyuapi terus akan mengakibatkan anak tergantung pada suapan kita untuk makan. Ciri-cirinya anak tidak mau makan kalau tidak disuapi.
3. accidental crime. Emosi yang meledak dalam menghadapi kekacauan yang dibuat oleh anak bisa memicu kejahatan kepada anak. Misalnya: ketika anak belajar minum, gelas mahal yang dipegangnya meleset dari tangan sehingga jatuh dan pecah. Sang orangtua langsung menanggapinya baik dengan komentar maupun dengan kekerasan fisik.
Benturan antara dua sisi permasalahan ini dapat mengakibatkan sebuah kebingungan alamiah.
Jika dalam menanggapi kebingungan ini terdapat kesalahan pengelolaan, maka dapat menimbulkan malapetaka yaitu manipulasi pola asuh. Bentuk manipulasi pola asuh yang dihasilkan dari kebingungan alamiah ini cenderung memilih pola asuh yang vertikal atau otoriter. Pola asuh satu arah (orangtua selalu benar) ini biasanya menggunakan kekerasan verbal dan non-verbal. Orangtua yang tidak ingin dibantah menggunakan cara-cara otoriter. Pola asuh ini juga menempatkan orangtua
yang berpotensi besar menimbulkan penderitaan psikis.
Akibat buruk dari penderitaan psikis dapat menimbulkan kompensasi. Pada orang dewasa, kompensasi atas suatu masalah biasanya dilampiaskan pada:
1. Makan
2. Bekerja
3. Hiburan
4. Madat (minum atau drug)
Sementara, kompensasi (pelarian) atas suatu masalah pada anak-anak, akan berpengaruh pada:
1. Ke luar: kenakalan.
2. Ke dalam: Menurunnya taraf intelegensi, kehilangan daya juang dan motivasi, kurangnya kecerdasan emosi dan gangguan psikomotorik.
Anehnya, menurut perkiraan para ahli, 30% dari anak-anak cocok dalam menggunakan pola asuh otoriter. Sementara untuk 70% lainnya harus menggunakan pola asuh yang berbeda (tidak dijelaskan). Untuk itu perlu adanya tes psikologi yang hasilnya akan menunjukkan karakteristik psikologis anak tersebut. Dari titik ini, setiap anak adalah unik. Dan orangtua perlu mengenal lebih lanjut karakteristik psikologis masing-masing anak untuk menemukan/memformulasikan pola asuh yang cocok. (Pinter juga pak Mugito jualan jasa konsultasi psikologi keluarga).
Pak Mugito sendiri mengaku tidak tahu pola asuh yang bagaimana yang tepat diterapkan untuk anak kita. Yagn jelas, paparnya, ciri pola asuh yang tepat adalah pola asuh yang memberikan keseimbangan pada kontrol dan kasih sayang.
Anak-anak saya belum pernah menjalani tes psikologi. Kabarnya, setiap anak yang sudah mampu memegang pensil dengan benar dan mencoret-coret kertas, sudah dapat menjalani tes ini. Tes seperti ini akan mengukur IQ dan EQ anak. IQ mewakili tingkat kecerdasannya, dan EQ mewakili kecerdasan emosinya.
Di Sesi Tanya Jawab terkuak permasalahan-permasalahan yang sering muncul dalam pengasuhan anak, diantaranya:
1. Kapan mulai mendisiplinkan anak?
2. Bagaimana orangtua bersikap dalam menghadapi perselisihan antarsaudara?
3. Bagaiamana sebaiknya orangtua yang berbeda pendapat dalam metode pengasuhan? (Ayah cenderung permisif, ibu cenderung keras)
4. Kesulitan mendekati anak yang tertutup.
1. Dalam mengenalkan kedisiplinan pada anak, dikenal adanya metode V. Yaitu metode yang lebih banyak menerapkan kebiasaan pada usia dini. Kemudian ketika anak memasuki usia remaja, anak diberi keleluasaan dalam memilih dan berperilaku. Kebiasaan yang sering ditemui adalah kebalikannya. Yaitu permisif di usia dini, dan represif di usia remaja. Pendekatan ini memiliki dua kelemahan. Pertama, permisif di usia dini mengakibatkan anak tidak mengenal kebiasaan/habit yang baik. Memang seringkali orangtua beranggapan anaknya belum siap menerima suatu pengajaran kebiasaan. Padahal justru di masa dini inilah orangtua bisa memperkenalkan kebiasaan yang baik karena anak masih lebih mudah menerima perubahan. Kelemahan kedua, represif pada anak usia remaja hanya akan menjadikan anak menjadi pemberontak. Memang pendekatan yang baik adalah mengenalkan kebiasaan-kebiasaan yang diinginkan di usia dini. Misalnya: makan dengan tangan kanan, berjabat tangan, mandi di pagi dan sore hari, tidur pada waktunya, dll. Mengijak usia yang memungkinkan anak memiliki pilihan sendiri, orangtua berperan sebagai teman. Artinya, orangtua mampu mendengarkan keinginan anak. Misal: kenapa anak suka buku Harry Potter? Contoh reaksi represif orangtua, “Kenapa kamu baca novel melulu! Lebih baik belajar!” Contoh reaksi mendengarkan, “Kamu suka bagian mana dalam buku Harry Potter? Kenapa suka bagian itu? Kalo Ayah lebih suka saat George dan Fred keluar dari sekolah dan mendirikan toko sihir. Menurutmu bagaimana?”. Dst sehingga kita mampu menerka jalan pikiran anak.
2. Perselisihan antarsaudara adalah hal yang wajar. Justru ketika tidak ada perselisihan, maka orangtua harus waspada. Misalnya: ada pihak yang selalu mengalah. HUbungan abang-adik yang demikian justru tidak sehat. Adik selalu menuruti apa kata kakaknya. Atau kakak dituntut untuk selalu mengalah pada setiap masalah. Untuk mengantisipasi perselisihan, orangtua dapat menanamkan nilai-nilai dasar hubungan yang sehat antarmanusia. Misalnya mengenalkan konsep kepemilikan. Barang milik adik jika akan digunakan kakak harus seijin dan sepersetujuan adik. Keberpihakan orangtua juga bukan atas dasar usia, tetapi lebih ke arah permasalahan yang sedang dihadapi. Jika adik yang menjadi penyebab awal kesalahan pada perselisihan itu, maka adik keinginan adik tidak bisa dilaksanakan. Dst.
3. Perbedaan pendapat pada orangtua memang sebaiknya tidak diumbar di depan anak-anak. Perbedaan pendapat yang diumbar di depan anak-anak dapat mengakibatkan efek buruk khususnya pada anak. Anak melihat orangtua yang tidak kompak dalam memutuskan suatu masalah. Apalagi jika masalah itu menyangkut pola asuh perkembangan anak. Pengalaman saya sendiri menunjukkan fenomena yang sama. Anak-anak saya dikitari oleh seorang nenek yang memanjakan, seorang ayah yang permisif, dan seorang ibu yang disiplin. Akibatnya jika anak sedang minta dimanja dia akan lari ke neneknya, jika menginginkan sesuatu akan meminta pada ayahnya, dan cenderung menghindari ibunya karena tidak ingin repot dilarang ini dan itu. Namun, tidak semua perbedaan pendapat orangtua harus disembunyikan. Pada hal-hal tertentu, bagus juga bila kita mengajarkan pada anak bahwa tidak semua orang memiliki pendapat yang sama. Dan mengajarkan pada anak, cara-cara mengatasi perbedaan pendapat secara bijak.
4. Anak yang tertutup tidak mau berbagi atau bercerita tentang kesehariannya kepada orangtua. Akibatnya, orangtua tidak dapat mengetahui apa yang dialami sang anak sehari-hari. Lebih jauh lagi, orangtua tidak dapat memahami jalan pikiran dan keinginan yang sedang dialami oleh sang anak. Mengendalikan anak yang tertutup bisa diawali dengan observasi pada anak. Khususnya pada area-area dimana anak berada di luar pengawasan orangtua. Bertanya pada guru dapat memberikan gambaran sikap sang anak di dalam kelas. Jika ingin mengetahui peran anak dalam pergaulan, kita dapat bertanya pada teman-teman sepermainannya. Bertanya pada anak-anak memerlukan tips khusus. Misalnya dengan mengajak ngobrol anak tsb. Di dalam obrolan diselipkan pertanyaan2 seputar anak kita. Usahakan teman anak tidak mengetahui bahwa dirinya menjadi sumber data. Hal ini untuk menghindari jawaban yang bukan jawaban sebenarnya, tetapi jawaban normatif. Yaitu jawaban yang diinginkan oleh penanya, bukan jawaban dari keadaan sebenarnya.
Nah, dari penjabaran pak Mugito tersebut, kita telah mengenal pentingnya mengenal aspek mental seorang anak. Selanjutnya, saya dan istri pastinya akan belajar lebih lagi untuk dapat menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak saya. Bagaimana pengalaman dalam keluarga Anda? Oleh abu abas
http://www.uliansyah.or.id/2007/12/10/seminar-psikologi-anak-pola-asuh/ 10 desember 2007
Sunday, November 2, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment