BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Visi “Indonesia Sehat 2010” merupakan salah satu agenda pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, produktif, dan mandiri (Depkes RI dalam Indriati, 2006). Hal ini akan terwujud karena peran orang tua dalam mendidik anaknya sehingga akan menjadi anak yang berguna kelak. Harapan terbesar orang tua adalah ingin memiliki anak yang soleh, sopan, pandai bergaul, pintar, dan sukses. Bagaimana orang tua untuk mewujudkan harapan tersebut, itulah yang paling penting (Setiawan, 2008).
Perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial, dan intelektual. Bila kesemuanya berjalan secara baik maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Dalam perkembangan jiwa terdapat periode-periode kritis yang berarti bahwa bila periode-periode ini tidak dapat dilalui dengan baik, maka akan timbul gejala-gejala yang ditunjukan misalnya: keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri, dan kepribadian yang terganggu (Setiawan, 2008).
Setiap anak adalah individu yang unik, karena faktor lingkungan dan bawaan yang berbeda. Perkembangan psiko-sosial sangat dipengaruhi lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang tuanya atau orang dewasa lainnya (Soetjiningsih, 1995). Kehadiran seorang saudara akan memberikan kontribusi bagi perkembangan sosial dan emosional seorang anak, serta hampir tidak akan pernah bisa dihindari adanya persaingan antar saudara kandung (sibling rivalry). Pola asuh yang diterapkan orang tua di rumah, mempengaruhi kecenderungan seorang anak untuk bersaing dengan saudara kandungnya (DWK, 2007). Konflik antar saudara kandung sering terjadi tanpa sebab yang jelas. Persaingan semakin terasa pada anak yang sama jenis kelaminnya dan dekat jarak usianya (Handayani, 2008).
Menurut Setiorini (2003), terjadinya sibling rivalry berasal saat adik lahir, semua perhatian tercurah hanya kepadanya. Di usia yang sangat muda ini, anak belum mampu mencari alasan dengan benar. Dalam pandangannya, kedua orang tua mengabaikan dirinya karena kehadiran si adik.
Menurut Kail dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), sibling rivalry umumnya muncul ketika adik bayi lahir karena biasanya banyak menyita waktu dan perhatian orang tua. Kondisi ini sering menimbulkan sikap jengkel kakak pada adiknya. Karena ketidakberanian anak untuk memunculkan sikap jengkel dan kesal itu, adik yang sering menjadi sasaran amarahnya. Sibling rivalry sangat mempengaruhi sikap anak. Hal tersebut karena keluarga memang lingkungan pertama yang ditemui anak. Menurut Sears dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), lahirnya adik baru merupakan permasalahan di mana anak harus membagi cinta, kasih sayang, dan perhatian orang tua kepada adiknya. Rasa cemburu sering kali berasal dari rasa takut yang dikombinasikan dalam rasa marah karena adanya ancaman terhadap harga diri seseorang dan hubungan itu sendiri.
Menurut Millman dan Schaifer dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), perasaan sibling rivalry biasanya terjadi antara 2 anak atau lebih yang usianya berdekatan. Sibling rivalry biasanya lebih lazim terjadi ketika jarak usia anak antara 1-3 tahun. Sibling rivalry akan lebih terlihat ketika umur mereka 3-5 tahun dan terjadi lagi pada umur 8-12 tahun pada usia sekolah, sibling rivalry lebih terjadi pada anak yang berjenis kelamin sama, khususnya perempuan. Menurut Bakwin dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), sibling rivalry cenderung terjadi lebih sering ketika anak yang lebih tua antara 2-4 tahun ketika adiknya dilahirkan, karena pada usia ini anak menjadi sadar akan kasih sayang orang tuanya. Menurut McNerney dan Joy (2001), berdasarkan pengalaman yang diungkapkan beberapa orang Amerika dilaporkan 55% mengalami kompetisi dalam keluarga dan umur antara 10-15 tahun merupakan kategori tertinggi.
Permasalahan munculnya adik baru, kasih sayang orang tua yang terbagi, serta 55% mengalami persaingan saudara yang terjadi pada umur 10-15 tahun, menurut penulis sangat menarik untuk diteliti dan ditelaah lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry dan faktor apa yang paling dominan. Penulis mengambil wilayah untuk penelitian di Desa Karang Wangkal dengan berbagai pertimbangan yaitu Karang Wangkal merupakan Desa yang cukup luas dengan luas 60 Ha. Selain itu penduduk Desa Karang Wangkal cukup padat yaitu terdiri dari 761 kepala keluarga terhitung dari bulan Juni 2008. Dengan usia anak dari 5-14 tahun yaitu 487 orang. Umur 5-9 tahun berjumlah 226 yaitu 122 wanita dan 104 laki-laki. Umur 10-14 tahun berjumlah 261 orang yaitu 137 wanita dan 124 laki-laki, dengan rata-rata anak yang berumur 5-9 yaitu kurang lebih 13 anak/RT dan umur 10-14 yaitu kurang lebih 20 anak/RT. Survey pendahuluan menunjukan dari 1 RW terdapat 11 pasangan adik kakak dengan rentang usia rata-rata 4 tahun yang bisa dimungkinkan terjadi persaingan saudara kandung. Setelah diadakan survey di lapangan, dari 8 anak 2 di antaranya adalah sibling rivalry seperti yang tertera dalam kriteria medis The ICD-10 yaitu mengalami kemunduran (mengompol setelah adik lahir), suka marah, mencari perhatian baik satu maupun kedua orang tua, memiliki pikiran negatif terhadap saudara kandung, serangan dimulai sejak 6 bulan kelahiran adik, paling sedikit terjadi selama 4 minggu.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan yaitu “Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan faktor yang menyebabkan sibling rivalry dilihat dari sikap anak di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
b. Menjelaskan faktor yang menyebabkan sibling rivalry dilihat dari perbedaan usia atau jenis kelamin anak di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
c. Menjelaskan faktor yang menyebabkan sibling rivalry dilihat dari ambisi anak di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
d. Menjelaskan faktor yang menyebabkan sibling rivalry dilihat dari hubungan anak dengan saudara kandungnya di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
e. Menjelaskan faktor yang menyebabkan sibling rivalry dilihat dari keinginan anak memperkenalkan diri di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
f. Menjelaskan faktor yang menyebabkan sibling rivalry dilihat dari pola asuh orang tua yang meliputi sikap membanding-bandingkan dan adanya anak emas di antara anak yang lain di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
g. Mengidentifikasi faktor yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan atau kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya, khususnya di bidang kesehatan dan daerah terkait, serta bagi para peneliti untuk dapat melanjutkan kajian.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan memberi informasi yang benar tentang sibling rivalry (persaingan antara saudara kandung) bagi para ibu, keluarga dan masyarakat di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwokerto Utara sehingga dapat meminimalisasi terjadinya sibling rivalry dengan meningkatkan kesiapan untuk menghadapinya dan dapat mengantisipasi timbulnya sibling rivalry bagi para orang tua maupun calon orang tua.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry belum pernah dilakukan, namun penelitian yang memiliki kemiripan pernah dilakukan oleh Setiawati dan Zulkaida (2007), yaitu “Sibling Rivalry Pada Anak Sulung Yang Diasuh Oleh Single Father”. Menggunakan penelitian non eksperimen dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian yaitu 2 anak perempuan umur 9 dan 8 tahun yang diasuh oleh single father mengalami sibling rivalry yang ditunjukan dengan bentuk perlakuan fisik, verbal, maupun non verbal ketika marah, kadar sibling rivalry di antara ke-2 subjek berbeda, sibling rivalry pada subjek pertama lebih bersifat agresif dari pada subjek kedua.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh McNerney and Joy (2001), berjudul “Sibling Rivalry in Degree and Dimensions Across the Lifespan” dengan hasil persaingan tertinggi yaitu pada umur 10-15 tahun yang dipengaruhi oleh banyak hal yaitu pendidikan, sosial, dan fisik.
Penelitian yang berjudul “Manajemen Konflik dalam Persaingan Saudara Kandung (Sebuah penelitian interaksionalisme simbolik terhadap dua remaja perempuan bersaudara kandung)” oleh Nurwijayanti (2004), menggunakan metode pengambilan sampel purposive sampling, yaitu peneliti menentukan sendiri subyek penelitian berdasarkan karakteristik dan ketentuan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa teknik manajemen konflik yang dipilih kedua subyek yaitu: 1) Avoidance/penghindaran dengan cara mendiamkan, jarang berinteraksi dengan saudara, dan lebih suka bergaul dengan teman. 2) Nonnegotiation dengan cara menolak untuk membicarakan sumber konflik dan lebih suka diam. 3) Blame/mengkambinghitamkan yaitu dengan menyalahkan orang tua sebagai pemicu konflik. 4) Emphaty dilakukan saat subyek merasa keterlaluan dengan sikap dan tingkah lakunya dan ia merasa kasihan dengan saudaranya yang selalu dimarahi orang tua gara-gara dirinya. 5) Force dilakukan subyek dengan memanfaatkan kemampuannya untuk mengambil hati orang tua dan faktor usia dari subyek.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh DWK (2007), berjudul “Study Perbedaan Kecenderungan Sibling Rivalry Ditinjau Dari Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh Orang Tua”, dengan menggunakan tipe penelitian penjelasan (eksplanatory research) dan tipe penelitian komparatif, variabel yang akan diuji dalam penelitian ini adalah persepsi pola asuh orang tua yang berperan sebagai variabel bebas dan kecenderungan sibling rivalry sebagai variabel tergantungnya. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil diterima atau tidak ada perbedaan kecenderungan sibling rivalry antara anak yang mempunyai persepsi pola asuh orang tua jenis otoriter, demokratis, dan permisif. Perbandingan nilai antara pola asuh otoriter-demokratis p=0.73; pola asuh otoriter-permisif p=1.000; dan pola asuh demokratis-permisif p=0.787.
Penelitian tentang Sibling Rivalry ini juga dilakukan oleh Rosita (2004), berjudul “Sibling Rivalry Pada Anak Kembar”, dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan teknik pengambilan Sampel dengan teknik Snow Ball serta menggunakan metode interview observasi. Adapun teknik analisa data yaitu menggunakan verifikasi (diambil kesimpulan) dan teknik keabsahan data yaitu ketekunan pengamatan dan triangulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi sibling rivalry pada anak kembar yaitu marah, menangis, dan berusaha merebut milik saudara kembarnya.
Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu mengkaji faktor–faktor yang menyebabkan sibling rivalry dengan menggunakan penelitian non eksperimental dengan pendekatan kualitatif serta memasukan pola asuh sebagai salah satu komponen dari faktor-faktor tersebut. Perbedaannya terletak pada variabel yang digunakan yaitu penelitian ini hanya mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry pada anak tanpa batasan diasuh oleh orang tua yang utuh atau single father, tidak terbatas pada anak kembar atupun tidak, serta tempat yang digunakan.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Sibling Rivalry
Beberapa hal mengenai sibling rivalry dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengertian
Menurut Keyla (2008), persaingan saudara kandung adalah kecemburuan, kompetisi, dan berkelahi antara saudara. Persaingan ini dimulai segera setelah kelahiran anak yang kedua. Persaingan saudara kandung biasanya terjadi sepanjang masa anak-anak dan hal ini dapat membuat frustasi dan stress dari orang tua.
Persaingan terjadi dan tidak jarang menumbuhkan permasalahan yang mengganggu hubungan antar saudara, termasuk munculnya konflik yang harus dihadapi anak. Persaingan antar saudara yang dimaksud disini adalah usaha untuk saling mengungguli satu sama lain atau kompetisi yang terjadi antara kakak beradik yang sama jenis kelamin atau berbeda untuk memperebutkan suatu hal sehingga tidak jarang dalam situasi tersebut muncul konflik di antara saudara kandung (Nurwijayanti, 2004).
b. Faktor-Faktor Penyebab Sibling Rivalry
Menurut Mulyadi dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), faktor penyebab sibling rivalry diantaranya karena orang tua membagi perhatian dengan orang lain, mengidolakan anak tertentu, dipeliharanya rasa kesal orang tua, serta kurangnya pemahaman diri. Menurut Priatna dan Yulia dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), faktor penyebab sibling rivalry adalah faktor internal dan eksternal :
1) Faktor internal: faktor yang tumbuh dan berkembang dalam diri anak itu sendiri seperti temperamen, sikap masing-masing anak mencari perhatian orang tua, perbedaan usia atau jenis kelamin, dan ambisi anak untuk mengalahkan anak yang lain.
2) Faktor eksternal: faktor yang disebabkan karena orang tua yang salah dalam mendidik anaknya, seperti sikap membanding-bandingkan, dan adanya anak emas diantara anak yang lain.
Menurut Keyla (2008), ada banyak faktor yang berperan dalam kejadian sibling rivalry yaitu :
1) Adanya keinginan anak untuk menggambarkan siapa dirinya, bakat, aktifitas, dan minat. Mereka ingin menunjukan bahwa mereka berbeda dari saudara kandungnya.
2) Perhatian, disiplin, dan kemampuan reaksi orang tua yang berkurang terhadap dirinya.
3) Adanya anggapan bahwa kedatangan adik baru merupakan ancaman bagi mereka.
4) Tahap perkembangan dari anak itu sendiri dihubungkan dengan perhatian orang tua yang terbagi serta bagaimana mereka mendapat perhatian itu dengan adil satu dengan yang lain.
5) Kekurang pahaman dari anak bagaimana cara mendapatkan perhatian dari saudara kandungnya sehingga mereka menggunakan perkelahian untuk mendapatkan perhatiannya.
6) Perlakuan orang tua terhadap anak.
7) Kurangnya peran dari orang tua untuk memberikan penjelasan bahwa perkelahian bukan salah satu cara yang baik yang bisa diterima untuk menyelesaikan masalah.
8) Tidak adanya waktu yang cukup dari orang tua untuk bersama-sama dengan anak.
9) Bagaimana orang tua memperlakukan anak dan bereaksi terhadap persaingan yang terjadi.
Menurut McGriew (1996), anak-anak pada umumnya dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan situasi lebih dini dalam keluarga karena hadirnya saudara laki-laki dan perempuan yang juga mengajukan tuntutan kepada orang tua. Dalam interaksi dengan saudara-saudara kandung inilah anak mengenal situasi persaingan yang pertama. Faktor yang paling menimbulkan trauma bagi anak yang mempunyai adik adalah cara anggota baru itu diperkenalkan.
Menurut Puspitasari (2005), faktor penyebab sibling rivalry yaitu:
1) Kasih sayang orang tua yang terbagi.
2) Kecenderungan terhadap satu anak.
3) Orang tua memuji kelebihan anak yang lain dihadapan anak yang memiliki kekurangan.
Menurut Widayati (2008), alasan anak merasa cemburu dan benci terhadap saudaranya antara lain:
1) Kasih sayang, cinta, dan perhatian orang tua yang terbagi dengan saudaranya.
2) Adanya konflik dan ketidaksetujuan hidup bersama dengan orang lain dalam jangka waktu yang cukup lama.
3) Favoritisme orang tua terhadap salah seorang anak dapat memicu dendam anak yang lain.
4) Kemampuan masing-masing anak yang berbeda dengan usia yang tidak jauh berbeda dan jenis kelaminnya sama.
c. Bentuk Perilaku Sibling Rivalry
Menurut Hurlock dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), sibing rivalry ada 2 macam rekasi. Pertama bersifat langsung yang dimunculkan dalam bentuk perilaku agresif mengarah ke fisik seperti menggigit, memukul, mencakar, melukai, dan menendang atau usaha yang dapat diterima secara sosial untuk mengalahkan saingannya. Kedua reaksi tidak langsung yang dimunculkan bersifat lebih halus sehingga sulit untuk dikenali seperti: mengompol, pura-pura sakit, menangis, dan menjadi nakal.
Menurut Priatna dan Yulia dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), reaksi sibling rivalry dapat diekspresikan dengan berbagai macam antara lain dengan cara agresif (memukul, melukai adik), dan regresi (suka ngompol dan menjadi manja/rewel) dengan berekspresi memandangi adiknya dengan tajam, menggunakan bibir, menangis, serta menjadi pendiam. Menurut Gibben dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), anak biasanya mengungkapkan dengan hal-hal yang tidak terduga-duga seperti merebut mainan atau makanan adiknya dengan kasar, menggigit, mencakar, memarahinya, membentak, bahkan ada kakak yang memaki adiknya dengan kasar.
Menurut Hall (1994), anak mungkin akan memiliki reaksi campuran terhadap adik baru, seperti: senang karena mendapat teman bermain baru, takut akan ditelantarkan, sering kecewa jika adik tidak mau segera bermain. Temperamen anak dan cara orang tua memperlakukan anak adalah faktor kunci yang menentukan berapa besar persaingan saudara kandung.
d. Dampak sibling rivalry
Menurut Priatna dan Yulia (2006), pertengkaran yang terus menerus dipupuk sejak kecil akan terus meruncing saat anak-anak beranjak dewasa. Mereka akan terus bersaing dan saling mendengki. Bahkan ada kejadian saudara kandung saling membunuh karena memperebutkan warisan.
Menurut Rimm (1999), dampak sibling rivalry yaitu pada perkembangan anak selanjutnya dalam keluarga. Dengan adanya persaingan dalam diri anak, tertanam asumsi bahwa saudara kandung adalah saingannya dan anak harus paling baik diantara saudara kandungnya. Menurut Hargianto (2008), antara saudara kandung tidak rukun dan lebih memilih untuk lebih dekat dengan orang lain dari pada dengan saudaranya dan yang sering menjadi pelarian adalah saudara sepupu, sebab dengan saudara sepupu yang bersangkutan dapat merasakan aura persaudaraan dengan resiko persaingan yang minimum. Dampak yang paling fatal dari sibling rivalry adalah putusnya tali persaudaraan jika kelak orang tua meninggal.
e. Penatalaksanaan sibling rivalry
Menurut Puspitasari (2005), ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi frekuensi maupun intensitas sibling rivalry yaitu dengan :
1) Libatkan anak dalam mempersiapkan kelahiran adik.
2) Beri anak perhatian dan cinta yang khusus.
3) Jangan membanding-bandingkan anak.
4) Jangan menjadikan anak sebagai pengasuh adiknya.
5) Buatlah pembagian tugas rumah masing-masing anak.
6) Kembangkan dan ajarkan anak bersikap empati dan memperhatikan saudaranya yang lain.
Menurut Rosita (2004), cara orang tua tergantung pada setting pemicu, misalnya persaingan dalam hal mainan yaitu dengan cara mainannya bergantian atau diambil sehingga tidak ada yang dapat, dalam hal makanan dengan cara dibagi dua, dalam hal perhatian dan membeli sesuatu harus sama, prestasi sekolah, dan perlombaan dengan cara memberi pengertian dan membagi hadiah dengan saudara kembarnya.
f. Penegakan Diagnosa Sibling Rivalry
Penegakan diagnosa sibling rivalry didasarkan pada kriteria diagnosa yang tertera dalam The ICD-10 Classification Of Mental And Behavioural Disorder Diagnostik Criteria For Research World Health Organization Geneva, yaitu terletak pada F.93 Emotional Disorder With Onset Specific To Chilhood dengan spesifikasi terletak pada F.93.3 yang berhubungan dengan Sibling Rivalry Disorder dengan kriteria sebagai berikut:
1) Perasaan tidak normal (negatif) yang kuat ke arah satu saudara kandung yang lebih muda.
2) Gangguan secara emosional seperti yang ditunjukkan dengan kemunduran, suka marah, dysphoria, kesulitan tidur, mencari perhatian dari satu atau ke-dua orang tuanya (dua atau lebih dari gejala ini harus muncul).
3) Serangan dimulai sejak enam bulan kelahiran dari saudara kandung yang lebih muda.
4) Jangka waktu sedikitnya empat minggu (Finerman, 2003).
2. Keluarga
Beberapa aspek dalam keluarga yang berhubungan dengan kejadian sibling rivalry yaitu:
a. Orang Tua
Bronstein dan Cowan dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), orang tua adalah kunci yang mungkin mempengaruhi sibling rivalry, namun orang tua pula yang dapat memperkecil terjadinya sibling rivalry. Ada beberapa peran orang tua untuk menghindari sibling rivalry dalam keluarga antar lain :
1) Memberikan cinta dan perhatian yang adil kepada anak.
2) Mempersiapkan anak yang lebih tua terhadap kelahiran adik baru.
3) Memperhatikan protes anak terhadap kesalahan orang tua.
4) Memberikan hukuman sesuai dengan kesalahan anak.
5) Sharing antara anak dan orang tua.
Menurut Milman dan Schaiffer dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), hal yang dapat orang tua lakukan untuk memperkecil sibling rivalry antara lain :
1) Mempersiapkan kelahiran anak akan adik.
2) Intropeksi diri.
3) Menanamkan pendidikan pada diri anak.
4) Diskusi dengan anak dan memberikan sanksi yang sesuai
b. Kasih Sayang Terhadap Anak
Sibling rivalry akan membuat anak bersaing untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang, serta perhatian dari orang tua. Hal ini karena sikap ibu yang berperan sebagai orang yang mendukung, melahirkan dan menyusui anak. Cinta seorang ibu sifatnya memberi kehangatan, menumbuhkan rasa diterima dan menanamkan rasa aman. Cinta ayah dibimbing oleh prinsip-prinsip dan harapan-harapan, cinta itu sabar dan toleran, tidak mengancam dan otoriter. Cinta ayah itu memberi anak yang sedang tumbuh itu suatu peningkatan rasa kompetensinya dan akhirnya menginginkan anak memiliki kewibawaan sendiri dan melepaskan kewibawaan si anak. Cinta ayah akan mengembangkan kepribadian, menanamkan disiplin dan memberikan arah, dan dorongan serta bimbingan agar si anak menjadi berani dalam kehidupan. Keluarga adalah tempat ”sekolah cinta kasih” bagi anak karena keluarga merupakan awal dan pusat dari seluruh tumbuh kembang anak menjadi individu yang dewasa (Soetjiningsih, 1995).
c. Tanggung Jawab Keluarga terhadap Anak
Anak dalam masa perkembangannya sangat membutuhkan peran orang. Friedman (1992), fungsi keluarga berfokus pada proses yang digunakan oleh keluarga untuk mencapai tujuan keluarga tersebut. Proses ini termasuk komunikasi diantara anggota keluarga, penetapan tujuan, resolusi konflik, pemberian makanan, dan penggunaan sumber dari internal maupun eksternal.
Menurut Fitriani (2008), peran keluarga terbagi dalam:
1) Peranan Ayah
Ayah sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, anggota kelompok sosial, dan sebagai anggota masyarakat dari lingkunganya.
2) Peranan Ibu
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung, anggota kelompok sosialnya, dan anggota masyarakat dari lingkunganya serta pencari nafkah tambahan dalam keluarganya
3) Peranan anak
Anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkatan perkembangan baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Menurut Verkuyl dan Rubino Rubiyanto dalam Setiya (2007), orang tua memiliki tiga tugas dan tanggung jawab berikut ini:
a) Mengurus keperluan materiil anak-anak.
Dalam hal ini orang tua harus memberi makan, tempat perlindungan, dan pakaian kepada anak-anak.
b) Menciptakan suatu “home” bagi anak-anak.
Home disini berarti bahwa di dalam keluarganya anak dapat berkembang dengan subur, merasakan kemesraan, kasih sayang, keramahtamahan, aman, dan rasa terlindungi. Di rumah anak merasa tentram, tidak pernah kesepian, dan selalu gembira.
c) Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan ialah mengajar, melatih orang-orang muda, sehingga mereka dapat memenuhi tugas mereka terhadap Tuhan, sesama manusia, dan sekeliling mereka. Titik tolak tugas pendidikan ini menurut Drost dalam Setiya (2007), adalah seorang manusia yang masih muda artinya yang dilatih adalah manusia muda, bukan manusia rekaan orang tua.
d. Peran Orang Tua Dalam Mendidik dan Membentuk Kepribadian Anak
Peran orang tua sebagai pendidik bagi anak-anaknya adalah suatu keharusan dan harus dilakukan orang tua kepada anak-anaknya, sebab menurut Drost dalam Setiya (2007), anak-anak sangat membutuhkan beberapa hal berikut ini:
1) Mencintai dan dicintai.
2) Perlindungan hingga merasa aman dan nyaman.
3) Bimbingan.
4) Diakui.
5) Disiplin.
Menurut Vembriarto dalam Setiya (2007), proses pembentukan kepribadian anak dipengarui oleh corak pendidikan dan hubungan antara orang tua dengan anak. Corak pendidikan yang dimaksud oleh Vembriarto dibagi menjadi tiga pola, yaitu:
1) Pola menerima atau menolak. Pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
2) Pola memiliki atau melepaskan. Pola ini didasarkan atas seberapa besar sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua over protektif dan memiliki anak, sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
3) Pola demokrasi atau otokrasi. Pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi anak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga, walaupun masih dalam batas-batas tertentu.
Menurut Fitriani (2008), para orang tua biasanya menggunakan komunikasi yang tidak efektif dalam mendidik anak, diantaranya yaitu:
1) Orang tua yang terlalu khawatir dan melindungi anak.
2) Orang tua yang terlalu menuntut.
3) Orang tua yang terlalu dominan.
4) Orang tua yang bersifat rejektif.
5) Orang tua yang terlalu memanjakan.
6) Orang tua yang terlalu primitive.
7) Orang tua yang terlalu banyak mengkritik.
8) Orang tua yang bersifat tidak konsisten.
9) Pola mekanisme pertahanan patologi.
3. Anak
Anak merupakan subjek dan objek dari sibling rivalry. Beberapa aspek dari anak yang penting yaitu:
a. Tahap-tahap Perkembangan Kepribadian
Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataannya sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian dapat dan mungkin terjadi, terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor fisik. Erikson dalam Nana Syaodih Sukmadinata dalam Sudrajat (2008), tahapan perkembangan kepribadian dengan kecenderungan yang bipolar yaitu meliputi:
1) Masa Bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust– mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang disekitarnya.
2) Masa kanak-kanak awal (early childhood ditandai adanya kecenderungan autonomy–shame, doubt). Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi dipihak lain anak telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
3) Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative–guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi kemampuan anak tersebut masih terbatas dan kadang mengalami kegagalan.
4) Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya.
5) Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity–Identity confusion. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini.
6) Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy–isolation. Timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
7) Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity–stagnation. Pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
8) Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity–despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya.
Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.1. Tahapan Perkembangan Kepribadian
Developmental Stage Basic Components
Infancy
Early childhood
Preschool age
School age
Adolescence
Young adulthood
Adulthood
Senescence Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair
b. Urutan Kelahiran (Birth-order) dan Karakter Umum Anak
Teori Adler mengatakan bahwa urutan kelahiran sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang anak. Teori ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa manusia membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Urutan kelahiran sering diyakini memiliki efek yang dalam dan berkelanjutan dalam psikologi perkembangan anak. Beberapa pakar mengaitkan urutan kelahiran dengan kepribadian, intelegensi, dan pilihan karier (Hartanto, 2008).
Menurut Robert Needlman dalam Hartanto (2008), ada juga yang berpendapat tidak mungkin urutan kelahiran berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian seseorang anak. Ia menyatakan posisi seseorang dalam keluarga memainkan peranan yang sangat penting dan menentukan pola berinteraksi anak dengan orang tuanya dan lebih khusus lagi antara si anak dengan saudara-saudara sekandungnya. Pola interaksi itu selanjutnya akan mempengaruhi bagaimana ia berespons terhadap sahabatnya, gurunya atau koleganya. Bentuk dan kualitas hubungan dengan saudara kandung bisa membantu menjelaskan mengapa anak-anak dalam satu keluarga ternyata bisa berbeda-beda perilakunya. Needlman dalam Hartanto (2008), mengatakan meskipun anak-anak tersebut dibesarkan dalam satu rumah, mereka memiliki pengalaman dengan keluarga yang berbeda-beda. Perbedaan itu diduga mempengaruhi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak, selain faktor keturunan.
Wikipedia dalam Hartanto (2008), mengatakan yang dimaksud dengan istilah urutan kelahiran adalah peringkat seseorang (berdasarkan usia) diantara saudara-saudara kandungnya. Istilah yang biasa digunakan adalah anak pertama, kedua, dan seterusnya atau ada juga yang menggunakan istilah anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Kadang-kadang, anak bungsu sering diistilahkan sebagai anak bontot. Pada era keluarga berencana dengan dua anak seperti sekarang ini, anak ketiga sering juga disebut sebagai anak bonus.
1) Anak tunggal mempunyai karakter umum yaitu :
a) Dimanjakan.
b) Merasa tidak kompeten karena orang dewasa dianggap lebih mampu.
c) Suka menjadi pusat perhatian, karena membuat mereka merasa spesial.
d) Egosentris.
e) Bergantung pada bantuan orang lain dari pada usaha sendiri.
f) Merasa diperlakukan tidak adil jika tidak dituruti kemauannya.
g) Sering menolak berkerja sama.
h) Melakukan politik “pecah belah” untuk mendapatkan kemauannya.
2) Anak pertama mempunyai kerakter umum yaitu:
a) Sebagai anak yang pernah dianggap sebagai anak satu-satunya, terbiasa menjadi pusat perhatian.
b) Percaya bahwa dia harus superior dari pada anak-anak yang lain.
c) Penting baginya untuk memegang kendali dan selalu benar.
d) Bisa jadi menanggapi kelahiran anak kedua dengan merasa diabaikan dan tidak dicintai.
e) Berjuang untuk memperoleh kembali perhatian orang tua lewat penyesuaian diri, jika ini gagal, memilih untuk berperilaku buruk.
f) Dapat mengembangkan tingkah laku yang cakap dan bertanggung jawab atau menjadi sangat kecil hati.
g) Kadang berusaha untuk melindungi dan membantu orang lain.
h) Berusaha untuk menyenangkan orang lain.
3) Anak kedua mempunyai karakter umum yaitu:
a) Tidak pernah mendapatkan perhatian orang tua yang sepenuhnya.
b) Selalu mempunyai kakak yang lebih maju.
c) Bertindak seakan-akan dalam perlombaan, mencoba untuk mengejar atau menyusul anak pertama.
d) Bisa menjadi pemberontak.
e) Kadang tidak suka posisinya.
f) Merasa ditekan jika ada anak ketiga.
g) Bisa menekan saudara lainnya.
4) Anak tengah atau ketiga dengan karakter umum :
a) Tidak mendapatkan hak istimewa anak tertua maupun anak terakhir.
b) Merasa hidup itu tidak adil.
c) Merasa tidak dicintai, sering diabaikan, dan ditekan.
d) Merasa tidak mempunyai tempat dalam keluarga.
e) Menjadi kecil hati dan anak bermasalah atau mengangkat dirinya dengan menekan saudara lainnya.
f) Bisa beradaptasi.
g) Belajar untuk menghadapi baik kakak tertua atau adik bungsu.
5) Anak bungsu mempunyai karakter umum :
a) Berlaku seperti anak satu-satunya.
b) Merasa orang lain lebih besar dan lebih cakap.
c) Mengharapkan orang lain untuk melakukan, mengambil keputusan, dan tanggung jawabnya.
d) Merasa yang terkecil dan terlemah. Mungkin tidak dianggap secara serius.
e) Menjadi bos dalam keluarga dan mendapatkan kemauannya.
f) Mempunya perasaan menjadi inferior atau menjadi speeder dan menyusul kakak-kakaknya.
g) Tetap menjadi sang bayi dan menempatkan orang lain untuk melayaninya.
h) Jika bungsu dari tiga bersaudara, kadang berkerjasama dengan anak pertama melewan anak kedua.
c. Pola Asuh Orang Tua
1) Koersi: identik dengan hukuman dan pujian, dengan pola ini anak akan cenderung menjadi si pencari perhatian, suka melakukan pembalasan atau menjadi ketakutan saat berbuat salah dimata orang tua, orang tua yang menerapkan pola asuh ini, biasanya tidak peduli dan tidak memahami bakat karakter anak.
2) Permisif: biasanya orang tua menghendaki anak-anak tumbuh dengan mandiri, tapi anak terkadang menjadi merasa tidak diperhatikan.
3) Dialogis (demokratis): menyeimbangkan kebebasan dan keteraturan, orangtua dialogis mendewasakan anak-anak dengan melibatkan mereka bertukar pikiran dan mencari solusi suatu masalah yang dialami (Mediastuti, 2007).
d. Kaitan Antara Pola Asuh Dengan Kepribadian Anak
Pola Asuh adalah suatu sistem atau cara pendidikan, pembinaan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Hal yang dapat mengaruhi pola asuh yang diberikan orang tua adalah lingkungan sosial internal dan eksternal. Oleh karena itu tidak terlepas dari pengasuhan orang tua, dengan arti bahwa kepribadian anak erat kaitannya dengan pola asuh yang diberikan oleh orang tua (Laila, 2007).
B. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teori di atas maka dapat dibentuk kerangka teori yaitu sebagai berikut :
Bagan 2.1 Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori di atas maka dapat dibentuk kerangka konsep yaitu sebagai berikut :
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
D. Pertanyaan Penelitian
Faktor –faktor apakah yang bisa menyebabkan terjadinya sibling rivalry di Desa Karang Wangkal, Purwokerto Utara?
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah non eksperimental dengan pendekatan kualitatif. Alasan menggunakan metode ini karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry dan mengidentifikasikan faktor yang dominan.
Menurut Moleong (2006), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Seorang peneliti yang mengadakan penelitian kualitatif biasanya berorientasi pada landasan teoritis. Landasan teoritis penelitian kualitatif antara lain fenomenologi, interaksi simbolik, kebudayaan, etnometodologi, etnografi, penelitian lapangan, dan grounded theory.
Peneliti berusaha menggali data secara mendalam tanpa mempunyai prediksi terlebih dahulu, sehingga terbuka kemungkinan untuk memperoleh data seluas-luasnya dari responden. Peneliti tidak melakukan pembuktian terhadap suatu hipotesis. Penelitian ini menuntut fleksibilitas terhadap fenomena di lapangan yang mempunyai kemungkinan untuk berubah. Menghadapi hal ini metode penelitian kualitatif menjadi pilihan yang paling tepat.
2. Tempat dan Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2008 di Desa Karang Wangkal, Kecamatan Purwoketo Utara.
B. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto 2002). Populasi dalam penelitian ini berjumlah 487 orang. Sampelnya adalah 3 orang dengan pertimbangan jika informan tersebut sudah mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Namun jika informasi yang dibutuhkan menurut peneliti kurang, maka ditambah sampel lagi sampai mencapai titik kejenuhan di mana semakin banyak informan maka data dan informasi yang didapat tidak bertambah.
Jumlah Populasi Sampel ditentukan dengan cara purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono 2002). Sampel berasal dari populasi yang terjaring, dengan kriteria inklusi dan eklusi sebagai berikut.
Kriteria inklusi:
1. Anak yang bertempat tinggal di Desa Karang Wangkal.
2. Bersedia menjadi responden.
3. Umur 10-15 tahun.
4. Rentang antar anak kurang dari 5 tahun.
5. Anak yang tidak mempunyai cacat mental maupun fisik.
6. Jenis kelamin sama.
Kriteria eksklusi :
1. Anak dengan child abuse.
2. Anak dengan kegagalan tumbuh kembang
3. Anak yang tinggal di Desa Karang Wangkal hanya pada hari-hari tertentu saja.
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, dan ukuran yang dimiliki atau yang didapat oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo 2005). Variabel penelitian ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan sibling rivalry.
D. Definisi Operasional Variabel
1. Sibling rivalry adalah permusuhan, kebencian, kompetisi antar saudara kandung yang dialami oleh anak di mana hal itu dilakukan untuk menarik perhatian atau meminta kasih sayang dari orang tua yang dirasa sekarang tidak diberikan kepadanya lagi sehubungan dengan hadirnya saudaranya yang baru.
2. Sikap adalah respon yang ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu stimulus.
3. Usia adalah umur yang telah dilalui seseorang dalam menjalani hidup.
4. Jenis kelamin adalah identitas yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan pertimbangan alat kelamin.
5. Ambisi anak adalah sikap dan sifat yang kuat untuk mendapatkan sesuatu.
6. Pola asuh orang tua adalah gaya pembelajaran dan pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya sebagai bentuk pembelajaran yang utama.
7. Anak adalah manusia yang berumur 0-18 tahun yang sedang tumbuh dan berkembang baik motorik maupun sensoriknya.
E. Instrumen Penelitian
1. Wawancara mendalam (in depth interview)
Data diperoleh melalui wawancara individu secara langsung dan mendalam dengan responden untuk mendapatkan data dan keterangan tentang tema yang sedang diteliti. Diajukan beberapa pertanyaan yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam mengukur faktor-faktor yang menyebabkan sibling rivalry di Desa Karang Wangkal, Purwokerto Utara. Alat yang digunakan untuk mempermudah proses wawancara adalah buku catatan, panduan wawancara, dan alat perekam.
2. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan menelaah buku-buku, dokumen, laporan-laporan atau keterangan dari informan yang bersedia menjadi responden.
F. Kredibilitas Instrumen
Guna mengetahui kredibilitas data tersebut penelitian ini menggunakan model triangulasi. Menurut Moleong (2006) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data ini untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dibedakan atas empat macam tekhnik triangulasi, yaitu :
a. Triangulasi sumber
Yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
b. Triangulasi metode
Yaitu dengan menggunakan dua strategi yaitu pengecekan terhadap derajat kepercayaan penemuan hasil beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
c. Triangulasi penyelidik
Yaitu dengan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekkan kembali derajat kepercayaan data. Cara lainnya adalah dengan membandingkan hasil pekerjaan seorang analis dengan analis lain.
d. Triangulasi teori
Yaitu melakukan penelitian tentang tema yang sama dan datanya dianalisa dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda.
Ke-4 teknik triangulasi di atas, pada penelitian ini memilih menggunakan triangulasi data sumber. Triangulasi sumber dapat tercapai dengan jalan :
a. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
e. Membandingkan antara data hasil pengamatan (observasi) dengan data hasil wawancara.
Ke-5 cara triangulasi sumber di atas, yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang.
b. Membandingkan antara data hasil pengamatan (observasi) dengan data hasil wawancara.
G. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut :
1. Tahap persiapan :
a. Koordinasi dengan perangkat dan warga di Desa Karang Wangkal, Purwokerto Utara.
b. Pengumpulan data anak dari kantor kelurahan dengan bantuan perangkat Desa.
c. Study pendahuluan untuk melakukan cross check data dari kelurahan ke lapangan dan mengambil beberapa anak berdasarkan data yang sesuai dengan kriteria inklusi untuk dijadikan bahan permasalahan yang perlu dikaji lebih mendalam.
2. Tahap pelaksanaan
a. Menetapkan objek penelitian.
b. Anak yang telah menyetujui lembar pernyataan responden, kemudian dilakukan wawancara mendalam dan kemudian hasil dari wawancara dan observasi tersebut didokumentasikan.
3. Tahap Penyelesaian
Meliputi teknik pengumpulan data dari lapangan untuk dilakukan pengelompokan sesuai dengan tujuan. Kemudian dilakukan penulisan ulang hasil dokumentasi tersebut berdasarkan kelompok masing-masing. Data yang telah terkumpul disesuaikan dengan teori atau penelitian sebelumnya untuk menunjang hasil penelitian.
H. Analisis Data
Menurut Moleong (2006), analisis data merupakan proses mengolah data, mengorganisasikan dalam bentuk suatu pola dan menyusunnya sesuai kategori tujuan penelitian dan satuan uraian dasar. Terdapat tiga komponen analisis dalam penelitian ini seperti terlihat dalam gambar di bawah ini, terdiri dari reduksi data, sajian data, dan penarikkan kesimpulan yang dilakukan dalam bentuk interaktif atau interactive of analysis model.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang muncul di catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data diartikan sebagai pemaparan informasi yang tersusun untuk memberikan peluang terjadinya sebuah kesimpulan. Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan suatu proses yang telah mencakup tahap final. Proses analisis ini berjalan terus menerus seperti sebuah siklus (Moleong, 2006). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan analisa data dalam penelitian itu membenruk alur sesuai dengan bagan berikut:
Bagan 3.1 Model Analisis Interaktif
I. Etika Penelitian
1. Prinsip Manfaat
a. Bebas dari penderitaan.
b. Bebas dari eksploitasi.
c. Resiko (benefit ratio).
2. Prinsip Menghargai HAM (Respect Human Dignity)
a. Hak untuk ikut menjadi responden (right to self-determination).
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full disclosure).
c. Inform consent.
3. Prinsip Keadilan
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right infair treatmen).
b. Hak dijaga kerahasiaan (right to privacy) (Nursalam, 2003).
J. Jadwal Kegiatan
No Jenis Kegiatan Bulan Ke-
7-8 9 9-10 10
1. Pembuatan proposal √
2. Pelaksanaan penelitian √ √
3. Analisis Data Hasil Penelitian √ √
4. Pembuatan Laporan Akhir √
Table 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 7 orang dengan berbagai macam karakteristik seprti dalam tabel 4.1.
Tabel.4.1.Gambaran karakteristik responden anak di Desa Karang Wangkal Purwokerto Utara
No Nama Umur anak
(tahun) Jenis kelamin Jumlah saudara kandung
1 rumah Jarak antar saudara (tahun) Frekuensi
pertengkaran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7 13
14
10
12
11
11
10 Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan 4
4
2
4
2
1
3 2
3
2
2
2
4
2
Sumber: Data Primer September 2008
1. Jumlah saudara kandung dalam 1 rumah
2. Jarak antar saudara
3. Frekuensi pertengkaran
a. Apakah adik punya saudara kandung?
R1: “Punya”.
R2: “Ya”.
R3: “Punya”.
R4: “Punya”.
R5: “Punya”.
R6: “Ya”.
R7: “Ya”.
b. Berapa saudara kandung yang tinggal disini?
R1: “Empat”.
R2: “Tiga”.
R3: “Satu”.
R4: “Tiga”.
R5: “Dua”.
R6 : “Satu”.
R7: “Dua”.
c. Berapa jarak atau umur antar saudara?
R1: “Jarak dengan adik dua tahun, dengan kakak juga ”.
R2: “Jaraknya sekitar tiga tahunan”.
R3: “Tiga tahun”.
R4: “Jaraknya dengan J 2 tahun”.
R5 : “Dengan I, jaraknya 2 tahun”.
R6 : “Empat tahun”.
R7: “Jaraknya dengan adik 2 tahun”.
d. Apakah anda sering bertengkar dengan kakak atau adik anda? apakah itu sering terjadi?
R1: “Sering, kadang-kadang sehari 3 kali”.
R2: “Sering, seminggu 1 kali, 2 kali ya pernah”.
R3: “Kadang-kadang, sehari 1 kali”.
R4: “Sering, 2 kali seharinya”.
R5: “Sering, 1 kali sehari”.
R6: “Sering, sehari 1 kali”.
R7: “Sering, habis itu minta maaf, sehari 1 kali setiap malam”.
e. Apakah anda merasa jengkel dan merasa ayah ibu anda telah berlaku tidak adil terhadaap anda, karena mereka lebih memihak kepada kakak atau adik anda?
R1: “ Jengkel, kalau aku jengkel ngamuk, gebrak pintu, nangis”.
R2: “Enggak”.
R3: “Jengkel, yah kalau lagi marah aku nyubit, jambak”.
R4: “Sering, Jengkel ya R4 nangis, mukul, banting bantal”.
R5: “Jengkel, marah aku nangis, nonjok”.
R6: “Pernah jengkel, karena dia bandel”.
R7: “Ya, aku nangis, ngambek, dia tak jorokin”
f. Apakah anda pernah merasa orang tua telah pilih kasih, karena kakak atau adik anda selalu dibela, sedangkan anda mendapatkan hukuman?
R1: “Pernah”.
R2: “Enggak”.
R3: “Enggak, aku sering digebuk, dicubitin seminggu 2 kali”.
R4: “Pernah, kadang-kadang”.
R5: “Ya, dia dibela”.
R6: “Enggak”.
R6: “Tidak”.
g. Apakah anda pernah merasa bahwa hadiah atau baju atau mainan yang diberikan ayah atau ibu kepada adik atau kakak anda sepertinya lebih bagus dari pada yang diberikan kepada anda?
R1: “Sama kok”.
R2: “Sama”.
R3: “Pernah Enggak”.
R4: “Pernah, bagusan adik”.
R5: “Pernah, aku dibeliin tamia”.
R6: “Dulu Bagusan R, sekarang bagusan R6”.
R7: “Hadiahnya sama baju, tapi warnanya beda, aku juga pengen punya warna lain kayak L”.
h. Apakah anda merindukan pelukan hangat ibu anda yang biasa diberikan ibu anda kepada adik anda yang lebih kecil?
R1: “Pernah”.
R2: “Enggak tahu”.
R3: “Pernah”.
R4: “Pengen”.
R5: “Pas adik lahir ya R5 sama pak gede, sama eyang”.
R6: “Pernah”.
R7: “Pernah”.
B. Faktor-faktor yang menyebabkan sibling rivalry
1. Faktor Anak
a. Sikap anak mencari perhatian orang tua
Dari hasil pendataan, responden yang didapat merupakan anak 1, ke-2, dn ke-3, di mana masing-masing anak punya karakteristik sendiri-sendiri. Menurut Wikipedia dalam Hartanto, menyatakan sesuai dengan urutan kelahiran dan karakter umum anak-anak memiliki sikap yang berbeda. Anak 1 memiliki karakteristik yaitu: sebagai anak yang pernah dianggap menjadi anak satu-satunya terbiasa menjadi pusat perhatian, bisa jadi menanggapi kelahiran anak ke-2 dengan merasa diabaikan dan tidak dicintai, berjuang untuk memperolah kembali perhatian orang tua lewat menyesuaikan diri dan jika gagal lebih memilih untuk berperilaku buruk. Sedangkan untuk anak ke-2 memiliki karakteristik sesuai dengan urutan kelahirnya yaitu: tidak pernah mendapatkan perhatian orang tua sepenuhnya, bertindak seakan-akan dalam perlombaan mencoba untuk mengejar dan menyusul anak 1, jika anak pertama menjadi anak baik maka anak ke-2 menjadi anak yang nakal, mengembangkan kemampuan yang tidak dimiliki anak 1, jika anak 1 sukses maka anak ke-2 bisa merasa tidak percaya diri dn tidak yakin akan kemampuannya, bisa jadi pemberontak, tidak suka posisinya, merasa ditekan jika punya anak ke-3, dan bisa menekan saudara lainnya. Anak ke-3 mempunyai karakteristik sesuai dengan urutan kelahiran yaitu merasa hidup itu tidak adil, merasa tidak dicintai, sring diabaikan dan ditekan, merasa tidak mempunyai tempat dalam keluarga, menjadi kecil hati, dan anak bermasalah atau mengangkat dirinya dengan menekan saudara lainnya.
Dengan berbagai karakteristik yang dimilki tersebut, responden memilih berbagai cara untuk menarik perhatian orang tua yang semua itu dilakukan setelah kehadiran si Adik. Responden lebih memilih menuruti perintah orang tua, belajar rajin, dan membantu pekerjaan rumah. Anak melakukan hal itu semata-mata karena takut mendapatkan hukuman atau marahan dari orang tua, baik pekerjaan yang ia lakukan ia sukai atau tidak. Berikut paparan responden mengenai hal tersebut:
R1: “Saya bantu-bantu, jadi enggak dimarahin”.
R3: “Aku nurut, biar enggak kena hukuman”.
R4: “Belajar rajin, bantu orang tua, biar lebih disayang”.
R5: “Nurut, rajin, karena takut dimarahin”.
R7: “Nurut, biasanya disuruh, biar tidak dimarahin”.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Kartono (1990), rasa cemas dan takut sering timbul jika orang tua terlalu cerewet dan sangat banyak menuntut pada anak. Anak-anak semakin tidak berani melakukan tugas-tugasnya, karena ia takut mengalami kegagalan, lalu ia dimarahi oleh orang tuanya. Namun harus disadari bahwa kadang tuntutan tersebut tidak layak dibebankan pada seorang anak. Jika anak mendapatkan suatu beban moral yang sebenarnya ia tidak kuat menanggungnya, maka akan menimbulkan ketakutan yang kronis pada anak untuk berbuat sesuatu dan berprestasi. Hal ini juga tidak terlepas dari karakteristik masing-masing anak.
Responden juga mengatakan bahwa mereka pasrah dengan tuntunan orang tua yang seperti itu dan yang menganggap apa yang ia lakukan merupakan hal yang paling baik. Hal ini terlihat dari hasil wawancara, yaitu semua Responden mengatakan apa yang ia lakukan merupakan pilihan yang paling baik.
Anak melakukan apa yang orang tua ingingkan darinya semata-mata agar orang tua senang dengan apa yang mereka lakukan dan upayanya menarik perhatian orang tua dikatakan berhasil. Semenjak kehadiran si Adik anak mungkin merasa dirinya telah terabaikan, di mana seluruh perhatian yang dulunya tercurahkan padanya mulai berkurang. Selian itu juga anak merasa bahwa dirinya telah tersisih. Kesimpulan ini diperkuat oleh pendapat Priatna dan Yulia (2006), persaingan saudara kandung memang biasa terjadi dalam kelurga yang memiliki beberapa anak. Sejak adik lahir seluruh perhatian berpindah ke adiknya, padahal sebelumnya dia adalah pusat perhatian keluarga. Hal ini membuat anak merasa tersisih sehingga anak menajdi caper. Pernyataan di atas diperkuat oleh pernyataan responden mengenai sikap orang tua terhadap dirinya jika ia mengikuti apa yang diinginkan dan dituntutkan orang tua kepadanya:
R1: “ Enggak akan pilih kasih, jadi aku senang, biar diperhatiin.
R4: “Baik, kalau tidak nurut terus bertengkar sama adik saya dijewer, dicubit, aku senang melakukan itu, jadi diperhatiin”.
R5: “kalau enggak nurut dimarahi bapak, kalau dimarahi ya enggak seneng, kalau nurut aku diperhatiin, kadang diomehi (dimarahi) kalau marah ”.
Anak mencari perhatian orang tua karena merasa dirinya telah tersisih, sehingga apabila ada saudara kandung yang lain yang mencari perhatian orang tuanya juga bagi mereka merupakan masalah atau persaingan. Kesimpulan ini didapat dari dari 7 responden, 4 responden mengatakan masalah, enggak senang, marah dengan saudara kandungnya tersebut. Berikut pernyataan respoden mengai hal ini:
R1: “Masalah, perhatian orang tua ke aku kurang”.
R4: “Enggak senang, kesel aja”.
R6: “Sempet marah sedikit, ya saya pengen tidur sama ibu, sedang dia pengen sendiri sama ibu”.
R7: “Enggak seneng, kalau bobok sendiri, soalnya takut. Jadi kalau L sudah bobok saya nyusul”.
Dari 4 responden yang menganggap masalah, hal ini timbul tidak terlepas dari pernyataan-pernyataan responden di atas yang mengatakan sering terkena marah jika menuruti perintah orang tua. Permasalah ini diperkuat oleh pernyataan Priatna dan Yulia (2006), ketika adik lahir perhatian, waktu, mulai berkurang, larangan mulai bermunculan berkenaan dengan kehadiran si Adik, kakak merasa tersisih, kakak diperiksa untuk menyayangi dan menerima kehadiran si Adik, sementara ia sendiri mengatasi masalah iri dan rasa tertolaknya. Padahal, dulu kakak begitu terikat dengan ayah ibu dan sekarang adik merampas kasih dan sayang darinya. Dia juga sering terkena marah ketika dia berusaha menunjukan betapa tidak adilnya perlakuan terhadap dirinya. Sedang Widayati (2008), ), alasan anak merasa cemburu dan benci terhadap saudaranya antara lain: kasih sayang, cinta, dan perhatian orang tua yang terbagi dengan saudaranya.
Pendapat Priatna dan Yulia serta Widayati, juga didukung oleh pendapat Boyle (1999), setelah adik lahir waktu, usaha, perhatian mulai berkurang. Apabila si Kakak meminta sedikit waktu pada orang tua, orang tua selalu capek dan memarahinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak di Karang wangkal menganggap masalah jika ada anak yang sengaja mencari-cari perhatian orang tua.
b. Perbedaan usia dan jenis kelamin
Dari hasil wawancara dengan responden, semua responden berkeinginan mempunyai adik. Alasan yang diutarakan untuk mempunyai adik pun bermacam-macam, beberapa diantaranya yaitu agar bisa diajak main, ada temannya dan jarak yang diinginkan pun beraneka ragam. Namun dari mereka menginginkan adiknya masih kecil dengan usianya yang sekarang. Berikut paparan responden mengnai hal tersebut:
R1: “Pengen punya adik, biar bisa main sama adik, jaraknya pengen lima tahunan”.
R4: “Pengen punya adik, jaraknya lebih lama”.
R6: “Pengen punya adik, biar ada temennya jaraknya pengennya tujuh tahunan, kecil kayak keponakan”.
Dari ke-7 responden setelah, setelah dilakukan wawancara mendalam lima diantaranya menginginkan jenis kelamin yang berbeda, hanya dua responden yang menginginkan jenis kelamin yang sama dengan kenyataan yang didapat dia telah mempunyai seorang saudara yang jenis kelaminnya berbeda. Dari kelima responden tersebut, dalam kenyataan mendapati jenis kelamin yang tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Hal ini dinyatakan oleh responden sebagai berikut:
R1: “Pengen punya adik laki-laki, enak diajak main, adik perempuan saya pasrah”. (R1 adalah seorang perempuan).
R2: “Pengen laki-laki, adik saya perempuan, saya tidak suka karena rebutan”. (R2 adalah seorang perempuan).
R4: “Pengen jenis kelaminnya beda, pengen beda”. (R4 adalah seorang laki-laki).
R5: “Saya pengen adik wadon (perempuan)”. (R4 laki-laki).
R7: “Aku pengen adik laki-laki, aku enggak seneng dengan adikku”.
Dari ungkapan di atas dapat diketahui, bahwa mereka tidak menyukai adiknya. Namun berdasarkan hal tertentu, setelah dikaji lebih lanjut walaupun ia tidak menyukai adiknya, hanya tiga responden yang menganggap masalah atau mereka marah dengan keadaan perbedaan usia dan jenis kelamin ini. Hal ini diperkuat dengan pernyataan responedan sebagi barikut:
R3: “Aku sedih, tapi pasrah, keluarnya perempuan ya sudah”.
R4: “Masalah, aku marah, kadang salah panggil, karena di masyarakat lebih dikenal dia”.
R7: “Sebenernya aku rada enggak marah, tapi aku pengen punya adik lagi”.
Dari hasil wawancara, dapat disimpulkan sebagain besar responden ingin menpunyai seorang adik dengan jenis kelmin yang berbeda dengan dirinya serta jaraknya juga cukup jauh atau sekarang adiknya masih kecil dengan usia mereka yang sekarang. Akibatnya, dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, membuat mereka tidak menyukai kondisi ini yang akhirnya sedikit banyak mempengaruhi pola pemikiran atau emosi yang ditandai dengan mereka marah dan tidak suka terhadap adiknya.
Kesimpulan di atas diperkuat dengan pendapat Boyle (1999), ada banyak faktor yang menyebabkan persaingan dalam keluarga. Sebagai contoh jika ada anak yang mempunyai jenis kelamin yang sama hidup dalam suatu keluarga, maka akan meningkat akan permasalahan atau persaingan. Selain itu juga didukung oleh perbedaan umur diantara mereka akan berpengaruh besar pula terhadap situasi persaingan ini. Sumber persaingan pada dasarnya berawal dari emosi atau perasaan anak yaitu apa yang sepenuhnya ia miliki sekarang terbagi. Pendapat Boyle juga didukung oleh Armando (2005) dalam sebuah penelitiannya yang menyatakan bahwa, fokus persaingan berasal dari atribut persaingan yaitu diantaranya perbedaan usia dan jenis kelamin di mana atribut inilah yang akan menyebabkan seseorang itu sukses atau gagal dalam suatu hubungan, serta atribut persaingan ini tidak terlepas dari peran serta keluarganya.
Menurut puspasari (2005), kemungkinan sibling rivalry akan semakin besar apabila mereka berjenis kemin sama dan jarak ke-2nya cukup dekat, diam-diam anak akan mengembangkan rasa benci terhadap saudaranya tersebut, lebih lagi jika orang tua selalu memuji kemampuan anak yang lain didepan anak yang memiliki kekurangan.
c. Ambisi anak untuk mengalahkan orang lain
Semua responden menginginkan menjadi yang terbaik dibandingkan dengan saudara-saudaranya, baik itu kakak maupun adik. Hal itu disebabkan karena salah satunya dari hasil wawancara mengatakan hampir semua orang tua dari mereka lebih menyayangi adik mereka yang umurnya lebih kecil. Untuk menarik perhatian agar bisa seperti adik mereka, responden melakukan segala sesuatu agar lebih disayangi seperti adik yang lebih kecil atau justru lebih disayangi dari pada adiknya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan responden mengenai perilaku mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
R2: “ Saya pengen jadi yang terbaik dari saudara-saudara saya, jadi saya harus lebih nurut sama orang tua dan cari uang dan saya mutusin untuk berhenti sekolah”.
R7: “ Aku pengen lebih baik dari yang lain, biar aku lebih disayang mama, aku nyapu, nyuci piring dan belajar yang lebih rajin karena adik enggak pintar”.
Dari ke-7 responden, semua berkeinginan lebih baik dari pada saudaranya sehingga mereka melakukan berbagai cara yang seperti diutarakan di atas. Namun yang menganggap anak yang berupaya untuk mengalahkan yang lain masalah hanya ada beberapa responden, berikut hasil wawancaranya:
R1: “Saya masalah jika ada yang cari perhatian, pengen menang sendiri, jadi perhatian orang tua ke aku kurang”.
R3: “Saya pernah jadi masalah jika ada anak yang pengen ngalahin yang lain”.
R7: “Aku enggak seneng, anak yang pengen ngalahin yang lain”.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Priatna dan Yulia (2006), ketika dalam keluarga terdapat banyak anak, maka mereka kadang harus berkompetisi untuk mengalahkan anak yang lain karena dalam keluarga hanya ada satu ayah dan satu ibu untuk dua atau 3 orang nak bahkan lebih yang mana semua anak membutuhkan kasih sayng dan perhatian yang sama.
Pendapat Priatna dan Yulia tersebut juga didukung oleh Kartono (1990), anak-anak yang sangat muda memang sering kali merasa cemas, terutama apabila kehilangan kasih sayang, perhatian, dan dukungan orang tua. Mereka takut apabila ayah ibunya bersikap acuh tak acuk terhadap dirinya dan lebih mencintai saudara-saudara, kakak atau adiknya. Pada permulaan usia kurang lebih 12-15 tahun, anak mulai menemukan AKU-nya. Anak-anak di usia ini mempunyai sifat yang paling menonjol yaitu rasa harga diri yang semakin menguat. Anak pada masa ini mempunyai keinginan yang menggebu-gebu untuk menarik perhatin orang lain pada dirinya, juga dorongan yang kuat untuk menguasai anak yang lain. Ada hasrat untuk berprestasi lebih tinggi, melebihi anak lain. Dia merasa mampu melakukan apapun, sehingga condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri. Semua itu dilakukan untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya dan didorong oleh tuntunan pengakuan EGO-nya.
Persaingan saudara kandung menurut Boyle (1999), didasarkan pada waktu, perhatian, cinta dan penerimaan dari orang tua yang sifatnya terbatas yang akan diberikan pada setiap anak. Ketika anak 1 lahir, anak akan merasakan waktu, perhatian, cinta, dan penerimaan dari orang tua secara utuh. Namun ketika adik lahir dengan segera terjadi perubahan besar di mana apa yang ia miliki sebelumnya harus ia bagi. Hal ini membuat anak merasa frustasi dan tidak nyaman. Namun harus diingat bahwa dengan perkembangan umur, emosi anak makin lebih baik, dan apabila anak sudah mencapi usia kurang lebih 12-20 tahun, emosi dan keadaan ini akan mulai diperlihatkan. Kebencian terhadap saudara kandung mulai dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang merusak melawan orang lain.
d. Keinginan anak untuk memperkenalkan identitas diri
Responden yang dipilih adalah berumur 10-15 tahun sehingga dapat dikatakan mereka hampir atau telah memasuki masa remaja. Responden berupaya untuk memperkenalkan identitas dirinya dengan berbagi cara. Hal ini mereka lakukan ketika marah atau sedih dan membuat mereka nyaman. Dari hasil wawancara diungkapkan bahwa kebanyakan cara yang ditempuh biasanya dilakukan secara terang-terangan untuk menarik perhatian orang tua. Berikut hasil wawancaranya:
R1: “Ketika marah sedih saya murung, gebrak pintu, jadi biar diperhatiin, ya itu ciri saya, saya enggak nyaman dengan ini, saya nyaman jika pergi dari rumah, ”.
R3: “Kalau marah aku nyubit, jambak, biar dia tahu balasannya apa, jadi aku nyaman dan orang tua peduliin aku”.
R4: “Kalau marah aku nonjok, nangis, banting pintu, biar diperhatiin, cirikhasku ya nangis kalau bertengkar, banting pintu kadang nonjok, jadi ya ku puas, tapi aku malah dimarahin”.
R5: “Aku ngamuk, banting-banting, jadi diperhatiin, aku lega, tapi aku malah ditabok kakinya”.
R6: “Aku bentak adik, mukul adik, nangis, diam, habis berantem tidur, kalau marah atau sedih. Ya orang tua meduliin aku karena aku dimarahiin”.
Namun dari beberapa pernyataan responden di atas hanya ada 2 responden yang menyatakan apabila ada anak yang berupaya memperkenalkan siapa dirinya lewat menunjukan sikapnya ketika marah merupakan masalah.
R3: “Masalah, soalnya kalau kayak gitu dia nakal”.
R7: “Ya, habis itu dia minta digendong”.
Hasil wawancara di atas diperkuat oleh pendapat keyla (2008), faktor yang berperan terhadap kejadian sibling rivalry adalah adanya keinginan anak untuk menggambarkan siapa dirinya, bakat, aktifitas, dan minat. Mereka ingin menunjukan bahwa mereka berbeda dengan saudara kandungnya. Pendapat ini diperkuat oleh Sudrajat (2008), masa remaja ditandai dengan kecenderungan identity-identity confusion sebagai persiapan kearah kedewasaan yang didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan yang dimilikinya. Dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, pada diri remaja yang sering kali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungan sebagai kenakalan.
e. Hubungan antar saudara kandung
Kehadiran seorang saudara akan memberikan kontribusi bagi perkembangan sosial dan emosional anak. Di usia yang sangat muda anak belum mampu mencari alasan dengan benar. Dalam pandangannya ketika adik lahir, kedua orang tua mengabaikan dirinya karena kehadiran si Adik (Setiorini, 2003). Sedangkan menurut Sears dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), lahirnya adik baru merupakan permasalahan di mana anak harus berbagai cinta, kasih sayang, dan perhatian orang tua kepada adiknya. Beberapa informan mengatakan bahwa semenjak adiknya lahir, kasih sayang yang diberikan kepadanya berbeda. Berikut paparan beberapa Responden:
R3: “Ada, kasih sayang beda, lebih memperhatikan adik”.
R6: “ Ya ada, ngurusina adik terus, kadang-kadang aja ke saya”.
R7: “Ya, aku jadinya main sendiri”.
Anak-anak di desa Karang Wangkal pada umumnya tidak diberi pengertian mengenai calon saudaranya yang sebentar lagi akan lahir. hal ini diungkapkan oleh beberapa responden yaitu:
R1: “Enggak pernah diberi pengetian”.
R3: “Enggak, soalnya masih kecil”.
R6: “Enggak dikasih tahu”.
Permasalahan ini diperkuat oleh Mc Griew (1996), bahwa anak-anak pada umumnya dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan situasi lebih dini, dalam keluarga karena hadirnya saudara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menyebabkan anak mengenal situasi persaingan yang pertama. Bahkan anak yang dipersiapkan dengan baik untuk kedatangan adik baru sering kali harus menderita kegelisahan dan guncangan ganda karena harus berpisah dengan ibu waktu ia di rumah sakit dan waktu ia pulang membawa adik baru.
Menurut Kartono (1990), dalam masa perkembangan, anak akan mengalami suatu masa evolusi di mana anak yang semula tenang, normal, dan teratur, akan berubah menjadi proses revolusi yang ditandai gejala-gejala eksplorasi/ledakan/pemberontakan dan penentangan yang banyak didominasi oleh emosi yang meluap-luap. Hal ini terjadi dua kali dalam masa perkembangan, yaitu terjadi kurang lebih ketika menginjak 12-15 tahun.
Dalam masa ini anak juga akan mengalami berbagai hal seperti rasa marah (agresi), kecenderungan pemberontakan, menentang, berkepala batu, tegar, rasa kebingungan, kecaman-kecaman pedas terhadap orang tua dan pribadi pemegang kewibawaan, keengganan, sikap mogok, kesukaan bermulut besar, bimbang hatu, berduka hati, dan lain-lain. Responden yang diambil pada umumnya berumur sekitar 10-14 tahun. Pada waktu ini, untuk tahap perkembangan anak normal, maka responden akan mengalami masa yang seperti ini di mana sikap-sikap yang dipaparkan sebelumnya mendominasi.
Anak akan memiliki banyak reaksi terhadap saudara kandungnya, baik itu reaksi senang atau tidak. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hull (1994), yang mengatakan bahwa anak akan memiliki perasaaan campuran terhadap adik baru misalnya: bergairah karena mendapatkan adik baru, dan takut akan ditelantarkan. Namun semua juga tidak terlepas dari temperamen dari anak itu sendiri dan cara orang tua memperlakukan anak, kunci yang menentukan besar persaingan yang terjadi diantara saudara kandung. Pernyataan di atas akan diperkuat oleh hasil wawancara sebagai berikut yang menunjukan respon anak terhadap saudara kandungnya dan ada atau tidaknya keinginan memiliki saudara kandung:
R1: “Aku Seneng dan jengkel pada saudara kandungku, tapi aku pengen punya adik”.
R2: “Seneng pada adik, tapi dulu tidak pengen punya adik”.
R3: “Jengkel pada adik, ingin punya adik laki-laki”.
R4: “Jengkel, kadang, pengen punya adik, jaraknya jauh”.
R5: “Seneng, pengen punya adik”.
R6: “Kadang-kadang seneng, kadang jengkel kalau dia bandel”.
R7: “Suka, tapi aku lebih suka kalau cowok”.
Selain ungkapan di atas, responden juga mengalami rasa marah (agreasi), keengganan yang di tunjukan terhadap saudara kandungnya. Menurut Kartono (1990), permasalahan ini tidak terlepas karena umur responden yang sedang mengalami masa trotzalter yaitu suatu masa di mana anak memiliki sikap keras kepala dan suka menantang. Hal ini disebabkan karena anak sedang mengalami masa menemukan dirinya sendiri dan menemukan AKU-nya, dan tengah mengahayati kemampuan diri dan harga diri. Sedangkan Kail dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), mengatakan sibling rivalry (persaingan saudara kandung) umumnya muncul ketika adik bayi lahir karena biasanya banyak menyita waktu dan perhatian orang tua. Kondisi ini sering menimbulkan sikap jengkel kakak pada adiknya. Karena ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan sikap jengkel dan kesal itu, adik yang sering menjadi sasaran amarahnya.
Menurut Hall (1994), anak mungkin akan memiliki reaksi campuran terhadap adik baru, seperti: senang karena mendapat teman bermain baru, takut akan ditelantarkan, sering kecewa jika adik tidak mau segera bermain. Temperamen anak dan cara orang tua memperlakukan anak adalah faktor kunci yang menentukan berapa besar persaingan saudara kandung.
Adanya pendapat di atas dapat diperkuat dengan paparan responden mengenai perasaaanya terhadap saudara kandungnya:
R1: “Aku baik pada adiku, kadang ya marah karena sering buat jengkel 3 kali sehari, kadang-kadang lebih”.
R3: “Rada enggak seneng. Adik sering buat jengkel, kadang 2 kali sehari, kadang sekali”.
R4: “aku jengkel, murung sama adik dan kakaku”.
R5: “Aku dan adikku kadang-kadang bertengkar, dia buat aku jengkel marah, sedih dan nangis”.
R6: “Kita kadang baik, kadang berantem, dia sering buat aku marah dan sedih”.
Anak akan menunjukan sikap mengenai perasaanya tersebut baik fisik atau verbal dan yang lebih halus atau non verbal terhadap saudara kandungnya sebagai bentuk dari rasa jengkel atau marahnya. Sikap tersebut mungkin bermula saat adik baru lahir. Dari hasil wawancara, responden kebanyakan lebih memilih cara yang lebih halus untuk menunjukan sikap jengkel tersebut terhadap saudara kandungnya walaupun juga diserta dengan bentuk fisik atau verbal. Hal ini ditunjukan dari hasil wawancara mengenai sikap responden terhadap saudara kandungnya ketika mereka sedang marah kepadanya.
R1: “Aku mukul, melukai, menendang, manja, rewel, memandangi adik dengan tajam, menangis, diam, sering merebut mainan dengan kasar, membantak, memaki-maki adik”.
R2: “Saya rewel”.
R3: “Saya mukul, manja, rewel, memandangi adik tajam, diam, sering merebut mainan adik dengan kasar, rebutan remot, sepeda, memaki-maki adik”.
R4: “Saya sering memukul, melukai kakak, menendang, rewel, memandangi adik dengan tajam, menangis, diam, merebut mainan dengan kasar,. Sering membantak, memaki-maki adik”.
R5: “Aku nenendang, mengompol, manja, rewel, memandangi adik dengan tajam, menangis, diam”.
R6: “Aku gigit, memukul, menendang, menangis, diam, membentak, memaki-maki”.
R7: “Menendang, ngompol, manja, rewel, memandangai adik dengan tajam, menangis, diam, merebut mainan dengan kasar, membentak”.
Hal di atas diperkuat oleh pendapat Hurlock dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), sibing rivalry ada 2 macam rekasi. Pertama bersifat langsung yang dimunculkan dalam bentuk perilaku agresif mengarah ke fisik seperti menggigit, memukul, mencakar, melukai, dan menendang atau usaha yang dapat diterima secara sosial untuk mengalahkan saingannya. Kedua reaksi tidak langsung yang dimunculkan bersifat lebih halus sehingga sulit untuk dikenali seperti: mengompol, pura-pura sakit, menangis, dan menjadi nakal. Sedangkan menurut Priatna dan Yulia dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), reaksi sibling rivalry dapat diekspresikan dengan berbagai macam antara lain dengan cara agresif (memukul, melukai adik), dan regresi (suka ngompol dan menjadi manja/rewel) dengan berekspresi memandangi adiknya dengan tajam, menggunakan bibir, menangis, serta menjadi pendiam. Menurut Gibben dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), anak biasanya mengungkapkan dengan hal-hal yang tidak terduga-duga seperti merebut mainan atau makanan adiknya dengan kasar, menggigit, mencakar, memarahinya, membentak, bahkan ada kakak yang memaki adiknya dengan kasar.
Dari beberapa ungkapan responden di atas hanya ada beberapa responden yang paling mempermasalahkan hubunganya dengan saudara kandungnya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan responden sebagai berikut:
R1: “Masalah, perhatian lebih besar ke adik dari pada ke aku”.
R2: “Masalah, karena ayah ibu tidak adil”.
R4: “Masalah, orang tua tidak adil, semua harus adil”.
R5: “Ya, karena pengen dibeliin tamia sama kayak dia”.
R7: “ Enggak seneng, aku enggak mau dikayak gituin dibedain”.
2. Faktor keluarga
a. Sikap membanding-bandingkan anak
Kasih sayang dalam keluarga merupakan hal dominan yang akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian si Anak. Adanya rasa cinta, tolong menolong, tanggung jawab, kejujuran, pengorbanan sangat diperlukan dalam keluarga. Suasana yang seperti ini merupakan media yang diperlukan bagi tumbuh kembangan anak. Setiap anak adalah individu yang unik karena faktor bawaan dan lingkungan yang berbeda (Soetjiningsih, 2002).
Dalam keluarga tidak bisa terlepas dari peran keluarga dalam mendidik anak serta kehadiran saudara kandung sehingga mau atau tidak mau orang tua harus membagi perhatian dan kasih sayang pada anaknya. Menurut Mc Griew (1996), orang tua yang paling bijak sekalipun tidak dapat mencegah timbulnya persaingan dalam kadar tertentu antar anak dalam keluarga. Hal ini terjadi karena disengaja maupun tidak baik verbal maupun non verbal.
Bila seorang anak menyadari kekurangannya dari saudaranya yang lain, berjenis kelamin sama dan jarak usia yang berdekatan, maka diam-diam anak akan mengembangkan rasa benci terhadap saudaranya tersebut. Biasanya ketika orang tua sering memuji kemampuan anak yang lain dihadapan anak yang memiliki kekurangan, tentu saja akan membuat anak yang kekurangan menjadi minder dan merasa kurang diterima ditengah-tengah keluarga (Puspitasari, 2005). Jika seorang anak kurang berbakat dibandingkan dengan saudaranya yang usianya tidak jauh berbeda dan berjenis kelamin sama, maka anak yang kurang berbakat cenderung membenci saudaranya yang lain. Dalam kondisi ini, anak merasa seluruh tindakan dan prestasinya dibandingkan dengan prestasi saudaranya. Ini banyak dilakukan oleh orang tua yang ada di desa Karang wangkal. Hal ini terbukti dari beberapa pernyataan Responden yang menyatakan bahwa mereka sering dibandingkan dengan saudara kandungnya. Berikut pernyataan Responden tersebut:
R1: “Pernah dibandingkan”.
R2: “Ya kadang, tapi sayakan sudah gede ya harus ngalah”.
R3: “Pernah dibandingkan”.
R4: “Pernah dibandingkan, setiap hari”.
R5: “Ya dibandingkan”.
R6: “Pernah dibandingkan”.
Menurut Kartono (1990), pada masa perkembangan, lambat laun unsur kritis mulai muncul dan anak mulai mengoreksi apa yang dihayati. Pernyataan tersebut memperkuat hasil wawancara dari Informan yaitu yang berusaha memaparkan apa yang ia rasakan dan menjelaskan alasan kenapa orang lain khususnya orang tua bersikap seperti itu. Berikut hasil wawancara Informan dengan berbagai pemaparan yang berbeda:
R1: “Karena enggak nurut”.
R2: “Jadi lebih baik”.
R3: “Biar lebih baik”.
R4: “Bandel, biar seperti yang diinginkan”.
R5: “Biar tidak bandel”.
R6: “Karena saya bandel”.
R7: “Biar enggak ribut, nurut”.
Pada dasarnya perbadingan ini dilakukan karena hampir semua orang tua menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya dan menerapkan kedisiplinan pada anak. Namun dengan apa yang telah orang tua lakukan kebanyakan memunculkan umpan balik yang berlawanan dari apa yang dimaksud, sehingga anak merasa marah dan jengkel dengan perbuatan orang tua tersebut. Kesimpulan itu ditunjukan oleh hasil wawancara dibawah ini:
R1: “ Aku enggak seneng dibandingin, jelek ke saya bagus ke yang lain”.
R2: “Enggak seneng dibanding-bandingin, pengen semuanya adil”.
R3: “Aku enggak suka, sikap itu beda, ya orangkan beda”.
R4: “Enggak seneng, kok dibandingin”.
R5: “Kesuh, ora seneng dibandingna”.
R6: “Kadang-kadang aku enggak suka dibandingin”.
R7: “Enggak seneng dibanding-bandingkan, aku jadi sedih”.
Kesimpulan dari pernyataan di atas, semua responden mengatakan tidak suka jika dibandingkan dengan saudara kandungnya. Mereka semua juga menggap apa yang dilakukan oleh orang tua kepadanya merupakan suatu bentuk ketidakadilan sehingga sikap membanding-bandingkan antar saudara merupakan masalah yang menimbulkan sikap jengkel, marah dan sedih pada anak. Berikut ungkpan tersebut:
R1: “Ya masalah, aku enggak suka”.
R2: “Masalah, orang tua banding-bandingkan”.
R3: “Ya masalah, kenapa harus ada perbandingan kayak gitu”.
R4: “Masalah”.
R5: “Kesuh, ora seneng dibandingna”.
R6: “Enggak seneng, ya saya yang gede bukan A, mask harus dibandingkan”.
R7: “Ya aku enggak suka dibandingin, tapikalau aku marah dipukul sama ibu”.
b. Adanya anak emas dari pada anak yang lain
Semua responden mengatakan bahwa saudara kandung yang menurutnya paling disayang adalah adik. Hal itu dikarenakan adik yang paling kecil walupun ia punya atau tidak keistimewaan. Namun dengan alasan yang seperti itu, semua responden mengatakan tidak suka dan tidak senang dengan apa yang telah orang tua lakukan. Sehingga anak melakukan berbagai cara untuk menarik simpati dan perhatian orang tua sehingga diharapkan ia akan mendapatkan apa yang adiknya dapat. Hal ini diperkuat dengan peryataan responden sebagi berikut:
1) Apakah anda senang dengan hal itu?
R1: “Enggak seneng, adikku saja yang disayang, agar aku disayang aku nyuci piring enggak usah nunggu disuruh, ngepel juga”.
R3: “Aku enggak seneng, dia paling disayang, agar aku seperti dia aku nurut sama orang tua”.
R4: “Enggak seneng, orang tua kayak gitu, tapi aku enggak mau seperti adik malu”.
R5: “Ora seneng, aku kesuh, aku sinau rajin, nurut meg mamake men disayang”.
R6: “Enggak suka orang tua pilih kasih, biar disayang aku nurut”.
R7: “Enggak seneng, aku nurut biar di sayang”.
Walaupun hampir semua dari mereka mengatakan tidak suka terhadap anak yang terlalu disayang, namun hanya 3 responden yang mengatakan jika ada anak emas atau terlalu dimanja dalam keluarga membuat ia tidak suka, jengkel. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan responden sebagi berikut:
R3: “Masalah, orang tua enggak adil”.
R4: “Ya masalah, enggak adil”.
R7: “Aku enggak seneng, kalau gitu ibu enggak adil”.
Hasil di atas dipertegas oleh Widayati (2008), Favoritisme orang tua terhadap salah seorang anak dapat memicu dendam anak yang lain. Pendapat Widayati juga didukung oleh Puspitasari (2005), faktor penyebab dari sibling rivalry adalah adanya kecenderungan orang tua pada satu anak.
3. Faktor Yang Paling Dominan Mempengaruhi Sibling Rivalry
Dalam perkembangan anak yang normal, usia 10-12 merupakan periode realisme-kritis yaitu anak mempunyai sifat yang realistis dan kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintesa logis karena munculnya pengertian, wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan. Anak kini bisa menghubungkan bagian-bagian menajdi satu kesatuan atau menjadi satu struktur. Sedangkan anak 12-14 mengalami periode subjektif dimana unsur emosi dan perasaan anak muncul kembali, dan kuat sekali mempengaruhi penilaian anak terhadap suatu pengamatan (Kartono, 1999).
Dari hasil wawancara dengan respoden dengan berbagai situasi dan pertanyaan tentanng faktor-faktor yang menyebabkan sibling rivalry, responden lebih cenderung mengatakan bahwa dari apa yang telah mereka jawab yang paling membuat mereka iri terhadap adiknya adalah karena orang tua, di mana orang tua selalu membanding-bandingkan mereka. Mereka juga mengungkapkan ini dengan berbagai alasan yang membuat mereka tidak nyaman dan harapan mereka terhadap orang tuanya. Berikut hasil wawancara mengenai hal ini:
R1: “Paling tidak suka jika dibanding-bandingkan, karena selalu jelek dia saya baik di dia”.
R2: “Tidak suka dibanding-bandingkan, pengen yang adil”.
R3: “Paling buat aku iri, sikap membading-bandingkan oleh orang tua, aku tidak suka aja dengan hal itu”.
R4: “Yang buat aku iri sama saudaraku jika dibandingkan”.
R5: “Aku paling kesuh nek dibanding-bandingna, mamake rak adil”.
R6: “Saya paling enggak suka sama anak yang manja, terlalu di sayang, dibandingin, kalau seperti itu orang tua tidak adil, jadi adik seperti orang lemah”.
R7: “Saya paling enggak suka jika dibandingin, ibu enggak adil”.
Hal itu membuat anak merasa sedih dan marah, berikut harapan para responden terhadap orang tua mereka:
R1: “Diperhatiin, jangan dibandingin, orang tua adil”.
R2: “Orang tua baik”.
R3: “Pengen jangan dibandingkan”.
R4: “Perhatiannya sama”.
R5: “Mamake adil, aku manut”.
R6: “Berlaku adil, jangan ada yang dimanja terlalu”.
R7: “Ibu baik, kalu tidur memeluk saya, tidur sama saya”.
Hal diatas diperkuat oleh pernyataan beberapa ahli yaitu: Mulyadi dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), faktor penyebab sibling rivalry diantaranya karena orang tua membagi perhatian dengan orang lain, mengidolakan anak tertentu, dipeliharanya rasa kesal orang tua, serta kurangnya pemahaman diri. Hal itu juga didukung oleh pendapat Priatna dan Yulia (2006), sering kali orang tua membandingkan anak yang satu dengan anak yang lainnya tanpa ia sadari misalnya ketika si Adik mengerjakan pekerjaan rumah atau yang lain. Tiap anak itu unik, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan dan mereka tidak suka jika dievaluasi dan dibandingkan dengan anak yang lain. Jika orang tua memuji si Adik di depan si Kakak, ada kemungkinan si Kakak menjadi iri apalgi jika hal yang dipuji tidak ia miliki. Sedangkan menurut Hall (1994), temperamen anak dan cara orang tua memperlakukan anak adalah faktor kunci yang menentukan berapa besar persaingan saudara kandung.
Jadi kuncinya letak dari persaingan saudara kandung adalah orang tua. Menurut Bronstein dan Cowan dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), orang tua adalah kunci yang mungkin mempengaruhi sibling rivalry, namun orang tua pula yang dapat memperkecil terjadinya sibling rivalry.
Wednesday, October 29, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)